Search This Blog

Tuesday, June 23, 2009

Tafsir Tematik 1

Segala puji bagi Allah yang menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya agar menjadi pengingat bagi alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah saw pembawa berita gembira dan peringatan, pelita yang menerangi, dan kepada Ahlul baitnya yang telah disucikan oleh Allah dengan sesuci-sucinya.

Sebagai mukaddimah tafsir ini (tafsir Al-Mizan), kami akan menguraikan secara ringkas tentang metode memahami dan menafsirkan makna ayat-ayat Al-Qur’an, mengungkakan maksud dan tujuannya. Penafsiran Al-Qur’an merupakan aktivitas ilmiah yang paling diutamakan oleh setiap priode umat Islam. Penafsiran Al-Qur’an telah dimulai sejak zaman turunnya Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan firman Allah swt:

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 151)

Mufassir priode pertama adalah sekelompok sahabat Nabi saw seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka’b, dan lainnya. Tidak termasuk Imam Ali bin Abi Thalib (sa), karena beliau tak dapat disejajarkan dengan mereka. Penafsiran di zaman ini tidak lebih dari menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari sisi sastra dan Asbabun nuzulnya. Sedikit sekali yang menafsirkan ayat dengan ayat, juga menafsirkan ayat dengan hadis Nabi saw, khususnya peristiwa sejarah, realita-realita yang terjadi, kiamat dan lainnya.

Dalam metode yang sama juga digunakan oleh sebagian mufassir dari kalangan tabi’in seperti Mujahid, Qatadah, Abu Layla, Asy-Sya’bi, As-Sudi, dan lainnya yang hidup pada awal abad kedua hijriyah. Penafsiran mereka tidak jauh beda dengan metode yang digunakan oleh sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain itu, mereka menggunakan riwayat-riwayat hadis, yang antara lain disisipkan oleh orang-orang yahudi. Mereka merujuk pada riwayat-riwayat itu dalam menjelaskan peristiwa sejarah, realita alam seperti kejadian langit, bumi, lautan, peristiwa-peristiwa para nabi yang dianggap salah dan dosa, penyimpangan terhadap kitab-kitab suci, dan hal-hal lain yang sejenisnya.
Sebagian mufassir di kalangan tabi’in diwarisi dan dipengaruhi oleh metode sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi metode penafsiran

Pertama: Selama masa para khalifah, umat Islam telah terjalin hubungan dengan negara-negara yang dikuasainya, sehingga tercipta hubungan antara mereka dengan para tokoh dari bermacam-macam agama dan aliran.

Kedua: Pada akhir-akhir abad pertama kekuasaan Bani Umayyah, hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah banyak buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga ilmu logika dan filsafat Yunani banyak mewarnai umat Islam dalam mengkaji keislaman.

Ketiga: Dalam waktu yang sama juga tersebar ilmu tasawuf sebagai tandingan ilmu filsafat, dan manusia cenderung pada ilmu-ilmu agama melalui pelatihan-pelatihan jiwa tanpa kajian-kajian logika yang mendalam.

Keempat: Saat itu masih banyak ahli hadis yang beribadah berdasarkan makna-makna hadis secara lahiriyah, tanpa mengkaji secara mendalam nilai-nilai sastranya.

Karena itu, pada abad kedua ulama Islam terbagi menjadi empat kelompok: teolog, filosuf, sufi, dan ahli hadis. Mereka hanya bersatu dalam kalimat syahadat, mereka berbeda pendapat dan pandangan dalam hal misalnya: makna Asma Allah, sifat dan perbuatan-Nya; makna langit dan isinya, qadha’ dan qadar, kemerdekaan dan keterpasaan, kematian, alam barzakh dan kiamat, surga dan neraka. Sebab itulah, mereka mempunyai metode yang berbeda-beda dalam mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an. Setiap kelompok memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan metode mereka masing-masing, guna melestarikan dan menonjolkan mazhabnya.

Para ahli hadis, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya berdasarkan riwayat-riwayat yang bersumber dari pendahulunya yaitu para sahabat dan tabi’in. Sehingga mereka fanatik dan hanya berpegang teguh pada riwayat-riwayat pendahulunya tanpa mau mengkaji berdasarkan ayat-ayat Allah swt:

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman pada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali-Imran: 7)

Mereka salah dalam hal itu, karena dalam Al-Qur’an Allah tidak melarang menggunakan akal sebagai hujjah. Bagaimana mungkin Allah melarangnya sedangkan Dia memerintahkannya dalam kitab-Nya. Di sisi lain, Allah tidak pernah memerintahkan untuk mengikuti pendapat para sahabat dan tabi’in, apalagi yang saling bertentangan satu sama lain, dan yang tak dapat dipertanggung-jawabkan. Bahkan Allah meniadakan semuanya.

Yang Allah perintahkan adalah merenungi ayat-ayat-Nya agar perbedaan pendapat yang disebabkan oleh mereka tidak mengakar dan tersebar. Allah menjadikan “perenungan” sebagai petunjuk, cahaya dan penjelas bagi setiap sesuatu. Maka bagaimana mungkin cahaya itu dapat bersinar tanpa perenungan dan pemikiran yang mendalam. Mana mungkin petunjuk Ilahi bisa memancar dari selain cara ini, dan bagaimana mungkin cahaya Al-Qur’an bisa nampak jelas tanpa cara ini.

Para teolog sebenarnya dipengaruhi oleh bermacam-macam pendapat kemazhaban sehingga mewarnai penafsiran mereka, dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Perbedaan pendapat setiap mazhab disebabkan oleh perbedaan pijakan metode dan teori ilmiah, atau hal-hal yang lain seperti taklid buta dan fanatik kesukuan. Sehingga penafsiran mereka dan metode kajiannya jauh dari harapan sebagai tafsir dan tak layak disebut penafsiran, yang tepat disebut sebagai “penyesuaian”.

Dari sinilah jelas bahwa penafsiran ayat-ayat Al-Quran ada dua macam:
Pertama: Apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an itu sendiri?
Kedua: Bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan mazhab mufassirnya?
Dua metode ini perbedaannya jelas: Yang pertama, melepaskan kepentingan-kepentingan mazhabnya dan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Yang kedua, membuat sendiri kaidah-kaidah penafsiran agar hasil penafsirannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penafsirnya, paling tidak sesuai dengan pendahulunya. Cara penafsiran yang kedua sudah jelas, tujuannya bukan suatu kajian tentang makna Al-Qur’an itu sendiri.

Para filosuf juga tidak jauh berbeda dengan para mufassir dari kalangan para teolog. Mereka berusaha menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar-dasar filsafat Yunani kuno (yang terbagi ke dalam empat cabang: mate¬matika, natural rains, ketuhanan dan hal-hal yang praktis termasuk hukum). Terutama filosuf yang beraliran Paripatetik (Al-Masyaiyun), mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisik, ayat-ayat penciptaan, peristiwa-peristiwa langit dan bumi, ayat-ayat tentang alam Barzah dan hari kiamat. Sehingga tidak sedikit filosuf muslim yang terperangkap dengan sistem filsafat tersebut, mereka meninggalkan kajian-kajian yang berkenaan dengan astronomi universal maupun parsial, keteraturan unsur-unsur alam, hukum-hukum astronomi dan unsur-unsur lainnya yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Kelompok sufi, mereka disibukkan oleh aspek-aspek esoterik penciptaan, memperhatilcan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kejiwaan tanpa memperhatikan alam nyata dan ayat-ayat yang yang berkaitan dengan astronomi. Kajian mereka hanya menfokuskan pada takwil, meninggalkan Asbabun nuzul ayat-ayat Al-Qur’an. Pola mereka inilah yang membawa manusia pada pola takwil dan penafsiran dalam ekspresi puitis, menggunakan sesuatu sebagai dalil untuk membenarkan sesuatu yang lain. Begitu buruknya kondisi ini sehingga ayat-ayat Al-Qur’an hanya ditafsirkan berdasarkan jumlah angka dan huruf; surat-suratnya dibagi berdasarkan cahaya dan kegelapan, kemudian mereka menafsirkannya berdasarkan pembagian itu.
Sebagaimana dimaklumi bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk memberi petunjuk pada kaum sufi, tidak hanya diperuntukkan untuk mengetahui jumlah nilai angka surat-surat Al-Qur’an. Ilmu-ilmu Al-Qur’an bukan untuk disesuaikan dengan perhitungan astrologi yang dibuat oleh ahli nujum yang mengutip dari Yunani dan lainnya, sesudah buku-buku mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Sehubungan dengan persoalan tersebut banyak disebutkan di dalam hadis Rasulullah saw dan para imam Ahlul Bait (sa) misalnya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini mempunyai makna lahir dan batin, satu makna batin mempunyai tujuh atau tujuh puluh batin…”

Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa) memperhatikan makna lahir Al-Qur’an sebagaimana mereka memperhatikan makna batinnya, mereka memperhatikan Asbabun nuzulnya sebagaimana memperhatikan takwilnya. Insya Allah kami akan menjelaskannya pada awal Surat Ali Imran, yakni tentang yang dimaksud dengan takwil adalah makna yang bertentangan dengan bahasa yang berlaku di kalangan umat Islam setelah turunnya Al-Qur’an dan tersebarnya Islam; dan bahwa kata takwil yang dikehendaki Al-Qur’an, yang terdapat di dalam ayat-ayatnya, adalah bukan dari sisi makna dan pengertiannya.

Di abad modern ini bertebaran metode baru penafsiran Al-Qur’an disebabkan oleh beberapa tokoh Islam yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu natural, ilmu-ilmu inderawi dan eksperimental, dan ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada eksperimen statistik. Mereka cenderung pada filsafat materialisme Barat, atau pada pragmatisme.

Akibat terpengaruh oleh teori-teori yang anti Islam, me¬reka mempropagandakan bahwa ilmu-ilmu Islam tidak mungkin bertentangan dengan metode yang ditetapkan oleh sains; tidak ada satu pun wujud, kecuali material dan inderawi. Karena itu ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai atau bertentangan dengan sains, seperti Arasy, Kursi, Lawh dan Al-Qalam, semuanya harus ditakwil. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bertentangan dengan sains seperti adanya hari kiamat, walaupun begitu, ia harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah material.

Adapun hal-hal yang ditetapkan oleh syariat seperti wahyu, malaikat, setan, nubuwah, risalah, imamah dan lainnya, mereka menganggapnya sebagai persoalan ruhiyah. Sedangkan ruh itu sendiri menurut mereka adalah material dan bagian dari hal-hal yang inderawi. Karena itu ketetapan syariat menurut mereka merupakan manifestasi dari masalah-masalah sosial yang khusus, yang hukum-hukumnya harus didasarkan pada pemikiran yang baik agar tercapai tujuan masyarakat yang baik.

Kemudian mereka mengatakan: Tidak dibenarkan berpegang teguh dengan hadis-hadis kecuali yang sesuai dengan Al-Qur’an. Sedangkan Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan berdasarkan ra’yu dan mazhab-mazhab terdahulu yang menggunakan dalil-dalil akal. Karena dalil-dalil itu telah digugurkan oleh sains yang didasarkan pada inderawi dan eksperimen, bahkan Tifsir Al-Qur’an itu harus ditinggalkan kecuali yang telah dibenarkan oleh sains.

Inilah pemyataan-pemyataan yang dikemukakan oleh para pengikut metode inderawi dan eksperimental. Pola inilah yang mewamai mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan di sini kami tidak akan membicarakan dasar-dasar ilmiah dan filosufis mereka. Kami hanya akan memaparkan sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh para mufassir pendahulu mereka. Yakni penafsiran yang sifatnya penyesuaian. Mereka merujuk pada metode pendahulunya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an di samping dengan sains.

Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan jika mereka belum berhasil menemukan makna-makna Al-Qur’an yang dapat disesuaikan dengan teori-teori ilmiah? Maka saat itulah mereka menyesuaikan metodenya dengan metode pendahulunya, menganggap maslahat hal-hal yang mafsadat.

Jika anda menggunakan akal yang sehat tentang cara pengutipan kitab-kitab tafsir pada umumnya, maka Anda akan jumpai: bahwa mereka telah bekerjasama dalam kelemahan dan kekurangan akibat argumen-argumen ilmiah dan filosufis, yang tidak sesuai dengan dalil-dalil Qur’ani, atau menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hal-hal yang eksternal. Karena itu metode mereka lebih tepat disebut “penyesuaian” bukan penafsiran atau kajian tafsir. Sehingga bagi mereka realitas-realitas Qurani merupakan simbol-simbol, dan Asbabun nuzul beberapa ayatnya menjadi takwil-takwil.

Sebagaimana telah kami isyaratkan bahwa Al-Qur’an ini telah mendefinisikan dirinya: Pemberi petunjuk pada alam semesta, cahaya yang terang dan penjelas bagi setiap sesuatu. Al-Qur’an menjadi petunjuk bersama pendampingnya, bersinar bersama pendampingnya dan memberi penjelasan bersama pendampingnya. Lalu siapakah pendampingnya? Bagaimana keadaannya? Dengan apa ia memberi petunjuk padanya? Siapa yang dijadikan rujukan jika terjadi perbedaan pendapat? Di sinilah letak perbedaan yang sangat jauh di kalangan mufassir.

Mengapa perbedaan ini melahirkan pandangan yang berbeda dalam memahami kata atau kalimat ayat-ayat Al-Qur’an menurut bahasa arab dan ‘urfi bahasanya. Padahal Al-Qur’an jelas berbahasa Arab, tidak sulit untuk dipahami oleh bangsa arab dan non-arab yang
telah benar-benar mengenal secara baik bahasa arab berikut kontek kalimatnya.

Tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang musykil, dan tak jelas untuk dipahami maknanya. Mengapa? Sebab Al Qur’an menggunakan bahasa yang paling fasih. Dari segi syarat kefasihan bahasa, bahasa Al-Qur’an tidak mengandung kemusykilan dan ketidakjelasan, sekalipun ayat-ayat tertentu yang Mutasyabih seperti nasikh-mansukh dan lainnya. Dari segi mafhum sudah jelas tujuannya. Yang mutasyabih hanya dalam maksudnya, dan itupun jelas. Perbedaan itu hanya terjadi dalam soal Mishdaq (ekstensi)nya, dan sesuatu yang dituju oleh konsep dan ekstensi.

Di sini perlu ditegaskan bahwa dalam hidup ini kita telah terbiasa, misalnya: ketika mendengar suatu kata, pikiran kita mendahului maknanya dengan makna yang material atau sesuatu yang berkaitan dengan materi. Sedangkan materi merupakan sesuatu yang mengalami perubahan dalam tubuh kita, dan kekuatan kita yang berhubungan dengannya hanya dalam kehidupan di dunia. Karena itu ketika kita mendengar kata hidup, ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, ucapan, kehendak, ridha, ciptaan dan lainnya, maka yang mendahului dalam pikiran kita adalah makna yang berkaitan dengan wujud-wujud materi.

No comments:

Post a Comment