Search This Blog

Sunday, June 28, 2009

Meluruskan Kerancuan Istilah "Fundamentalisme Islam"

MELURUSKAN KERANCUAN ISTILAH "FUNDAMENTALISME ISLAM"

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh

Belakangan ini kita mengenal istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis". Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis" ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang 'dituduhkan' oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan memberikan gambaran yang 'negatif' terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan 'kredibilitas' mereka di mata dunia.

Apa sesungguhnya makna istilah fundamentalisme? Bagaimana asal-usul istilah tersebut, dan siapakah sebenarnya kaum "fundamentalisme" itu? Insya Allah, artikel ini akan membahasnya secara mendalam.

Istilah 'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut, adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang.

Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.

Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak.

Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan.

Oleh karena itu, Imam Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan do'anya, "Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok orang-orang yasar (kiri) dan jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok orang-orang yamin (kanan)". Tentunya sesuai dengan pemahaman pemikiran Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat.

Asal Usul Fundamentalisme di dunia Barat

Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.

Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.

Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah "fundamentalisme" dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.

Makna Istilah Ushuliyah dalam Wacana Pemikiran Islam

Dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme". Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim : 24).

Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan, "ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.

Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)

Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits.

Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.

Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.

Terlepas dari pemahaman itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah "fundamentalisme" ini?

Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972)

Berikut ini beberapa definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam :

1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)

Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan" sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam kalam majasi."

2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M)

Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi (indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq (pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata. Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan.

Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara, kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan, Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan.

3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M)

Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya" sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya, serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal.

4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)

Beliau menafikan kemungkinan perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i (pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif (lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)

Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash, yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal oleh Kristen Barat.

Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok "fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan "generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan "fundamentalisme" Kristen Barat.

Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum 'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.

Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama, yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.

Sedangkan, istilah "fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna 'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid (pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.

***

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh

Abdul wahid

E-Mail : Wahidsmartboy@gmail.com

Referensi :

  • Seize The Moment, Dr. Richard Nixon
  • Fundamentalisme-Fundamentalisme Kontemporer, Dr. Roger Garaudy
  • Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal, Ibnu Rusyd
  • Lisanul Arab, Ibnu Manzhur
  • Karl Marx, Evolution of His Thought, Dr. Roger Garaudy
  • Faishal Tafriqah Bainal Islam waz-Zandaqah, Imam Al-Ghazali
  • Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf
  • Perang Terminologi Islam Versus Barat, Dr. Muhammad Imarah
  • Fundamentalisme dalam Persfektif Barat dan Islam, Dr. Muhammad Imarah
  • Masa Depan Fundamentalisme Islam, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
  • Karakteristik Metode Islami, Dr. Muhammad Imarah

Tuesday, June 23, 2009

KUALITAS HADIS TENTANG AZAN

KUALITAS HADIS TENTANG AZAN

TERHADAP ANAK YANG BARU LAHIR

(kritik Sanad dan Matn)

A. Pendahuluan.

Dalam kehidupan rumah tangga, anak merupakan dambaan terbesar bagi sebuah keluarga. Anaklah yang akan mewarnai keluarga sebagai penerus keturunan ayah ibunya. Anak merupakan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada para makhluk-Nya yang harus disyukuri. Ia juga merupakan “titipan Tuhan” yang harus dijaga, dipelihara, dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, pendidikan terhadap anak merupakan sebuah keniscayaan yang tidak boleh diabaikan kedua orang tuanya. Sebagai agama yang hanif, Islam telah meletakkan dasar-dasar dan keturunan-keturunan yang harus dilaksanakan orang tua dalam mendidik anaknya agar terbentuk pribadi-pribadi yang saleh, generasi Qur’ani yang mampu mengemban tanggung jawab terhadap agama, keluarga dan masyrakat serta membawa Islam ke puncak kejayaannya.

Pendidikan anak (tarbiyah al-awlad) dalam Islam tidak hanya dilaksanakan pasca kelahiran anak, tetapi sejak terjadinya hubungan suami isteri, kemudian ketik anak masih dalam kandungan iibunya, dan sampai anak itu lahir ke dunia. Di sinilah diperlukan peran orang tua sebagai pendidik dalam menanamkan bibit-bibit keislaman terhadap anaknya itu.

Khusus untuk kelahiran anak, ada beberapa ketentuan yang digariskan dalam Islam. Di antara ketentuan itu adalah mengazankan dan mengiqamahkannya. Azan didengarkan di teliga kanannya, dan Iqamah didengarkan di teliga kirinya, bertepatan saat anak dilahirkan. Ketentuan tersebut banyak ditemukan dalam berbagai kitab-kitab keislaman, khususnya bidang fiqh karena biasanya selalu dihubungkan dengan masalah ‘aqiqah yang memang disyari’atkan dalam Islam melalui nash yang sahih. Begitu pula dalam kitab-kitab hadis, masalah azan terhadap anak ini selalu terkait dengan ‘aqiqah, ada yang melatakkannya pada bahsan penyembelihan (adahiy) seperti al-Turmuzi, dan ada pula pada bahasan adab, seperti Ibn Majah.

Meskipun ketentuan azan di teliga anak yang baru lahir ini secara eksplisit tidak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran, tetapi menurut pendapat para ulama didasarkan hadis-hadis nabi yang diriwayatkan oleh sebagian ashab al-sunan.[1] Seperti Abu Dawud dan al-Turmuzi, termasuk Imam Ahmad (penyusun musnad Ahmad ibn Hanbal) dan juga Abu Ya’la (musnad Abi Ya’la), yang berbunyi sebagai berikut[2]:

"من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان" (رواه: أبو يعلى عن الحسين ابن على)

“Barang siapa yang dianugrahi anak yang baru lahir, kemudian dia (orang tua) mengazankan di telinga kanannya dan mengiqamahkan diteling kirinya, niscaya anak itu tidak diganggu oleh Umm al-Sibyan (pengikut Jin).” (H.R. Abu Ya’la dari al-Husein ibn ‘Ali ra.)

أبي رافع عن أبيه قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه: الترمذى و ابو داود وأحمد)

Dari Abu Rafi’ berkata “Aku melihat Nabi Muhammad saw. mengazankan dengan azan salat di telinga ibn ‘Ali sesaat sesudah Fatimah melahirkannya” (H.R. al-Turmuzi, Abu Daud, dan Ahmad)

Menurut informasi para ulama sementara, hadis-hadis tersebut hanya termasuk kategori ahad serta kualitasnya masih dipertanyakan. Meskipun demikian, hadis tersebut sangat akrab dengan masyarakat dan tradisi mengazankan anak yang baru lahir ini tetap dilaksanakan sampai sekarang berdasarkan kandungan hadis tersebut.

Selain itu, mengingat hadis merupakan sumber ajaran Islam setelah Alquran dan sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw., maka penulis merasa perlu untuk meneliti kembali dan mengkaji ulang bagaimana kualitas hadis tentang mengazankan anak yang baru lahir ini dengan metode penelitian yang telah dipakai dalam ilmu hadis dan dikenal dengan istilah takhrij al-hadis.

B. Hadis-hadis tentang Azan terhadap Anak yang Baru yang Baru Lahir

1. Takhrij al-Hadis

Dalam istilah Muhaddisin, takhrij al-hadis berarti menunjukkan letak suaru hadis nabi yang dimaksud dalam sumber-sumber aslinya dengan menerangkan rangkaian sanad-nya, kemudian menjelaskan nilai hadis tersebut jika diperlukan.[3]

Untuk men-takhrij hadis-hadis tentang azan terhadap anak yang baru lahir ini, maka penulis terlebih dahulu menggunakan kamus hadis al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi dengan mencari akar kata dalam matn hadis tersebut, yaitu lafal ra’a, azana, walada.[4] Dari sini diperoleh informasi bahwa riwayat hadis dari Abu Rafi’ ada tiga jalur periwayatan, masing-masing terletak pada kitab-kitab hadis sebagai berikut:

a. Imam al-Turmuzi mengeluarkan dalam Sunan al-Turmuzi, bersumber dari Abu Rafi’, pada kitab al-Adahiy, bab al-Azan fi Uzun al-Mawlud, Juz III, halaman 189, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, 1994, dengan lafaz (bi lafziah) ada satu riwayat.

b. Imam Abu Dawud mengeluarkan dalam Sunan Abi Dawud, bersumber dari Abu Rafi’, pada kitab al-Adab, bab fi al-Sabiy Yaludu Fayu’zanu fi Uzunihi, Juz IV, terbitan Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut, tanpa tahun, dengan lafaz yang sedikit berbeda namun semakna, ada satu riwayat.

c. Imam Ahmad mengeluarkan dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal, bersumber dari Abu Rafi’, pada Juz VI, halaman 9, 391, 392, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, dengan lafaz yang sedikit berbeda namun semakna, ada stu riwayat.

Kemudian untuk riwayat hadis dari Husein ibn ‘Ali ra. Dalam kamus al-mu’jam tersebut tidak ditemukan setelah dicari akar katanya, yaitu walada, azana, qama dan darra. Hal ini dikarenakan kamus hadis al-Mu’jam hanya memuat kitab-kitab hadis yang sembilan (kutub al-Tis’ah), yaitu: al-Bukhari (خ) , Muslim (م), al-Turmuzi (ت), Abu Dawud (د), an-Nasa’i (ن), Ibn Majah (جه), al-Darimi (دي), Malik (ط), dan Ahmad ibn Hanbal (حم). Sedangkan Musnad Abi Ya’la dalam kamus ini tidak dimuat. Oleh karena itu penulis merujuk kepada kamus hadis yang lain, yaitu al-Jami’ al-Shagir dengan mencari parda huruf mim, kalimat man wulida, ternyata ditemukan hadis tersebut sebagai berikut:

"من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان" (ع) عن الحسين, (ض) [5]

Menurut keterangan di atas, hadis ini diriwayatkan oleh Ashab al-Sunan (dengan tanda huruf ‘ain) dari riwayat al-Husien dengan berpredikat lemah (dengan huruf da). Setelah dicek ke kitab-kitab hadis al-Sunan tersebut ternyata tidak ditemukan matn hadis yang dimaksud, begitu pula dengan sanad-nya. Memang ada hadis yang senada dengan hadis ini, namun itu adalah dari riwayat Abu Rafi’, bukan dari Husien.

Selanjutnya merujuk keterangan al-Albani dalam kitabnya tentang silsilah hadis-hadis yang lemah (mengingat hadis yang dimaksud berstatus da’if sebagaimana pernyataan al-Sayuti), hadis ini berhasil ditemukan pada nomor 321 berikut dengan sanad-nya. Menurut, hadis ini diriwayatkan kembali oleh Abu Ya’la dalam musnad-nya (4/1602). Dari Abu Ya’la ini, lalu diriwayatkan kembali oleh Ibn al-Sunni dalam A’mal al-Yawm wa al-Laylah (200/617), Ibn ‘Asakir (16/182/2), dan Ibn Bisyran dalam Amali (88/1).[6] Disini penulis mengalami kesulian dalam melacak kitab-kitab tersebut seperti yang diungkapkan al-Albani karena keterbatasan literatur.

Adapun hadis-hadis tentang anjuran azan terhadap anak yang baru lahir adalah sebagai berikut:

a. Riwayat al-Turmuzi (bersumber dari Abu Rafi’):

حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد وعبد الرحمن بن مهدي قالا أخبرنا سفيان عن عاصم بن عبيد الله عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه: الترمذى)[7]

b. Riwayat Abu Dawud (bersumber dari Abu Rafi’):

حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن سفيان قال حدثني عاصم بن عبيد الله عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه: أبو داود)[8]

c. Riwayat Ahmad ibn Hanbal (bersumber dari Abu Rafi’):

حدثنا عبد الله حدثنى أبى حدثنا يحيى وعبد الرحمن عن سفيان عن عاصم بن عبيد الله عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه: احمد بن حنبل)[9]

d. Riwayat Abu Ya’la (bersumber dari Husein ibn ‘Ali):

عن يحى بن العلاء عن مروان بن سليم عن طلحة بن عبيد الله عن الحسين ابن على عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: "من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان" (رواه: أبو يعلى)[10]

2. I’tibar al-Sanad

I’tibar al-Sanad dilakukan untuk memperhatikan seluruh jalur sanad yang diteliti, nama-nama perawi, dan metode periwayatan yang digunakan, sehingga dapat diketahui sanad hadis seluruhnya, dilihat dari ada atau tidaknya pendukung yang berstatus mutabi’ atau musyahid.[11]

Hadis-hadis tentang azan terhadap anak yang baru lahir ini berjumlah 4 buah yang melibatkan 16 orang perawi, 4 orang diantaranya berstatus mukharij yang akan dirinci sebagai berikut:

a. Dalam sanad al-Turmuzi, terdapat 8 orang perawi, yaitu:

1). Abu Rafi’ 5). Yahya ibn Sa’id

2). ‘Ubayd Allah ibn Abi Rafi’ 6). ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi

3). ‘Asim ibn ‘Ubayd Allah 7). Muhammad ibn Basyar

4). Sufyan 8). Al-Turmuzi

b. Dalam sanad Abu Dawud, terdapat 7 orang perawi, yaitu:

1). Abu Rafi’ 5). Yahya ibn Sa’id

2). ‘Ubayd Allah ibn Abi Rafi’ 6). Musaddad

3). ‘Asim ibn ‘Ubayd Allah 7). Abu Dawud

4). Sufyan

c. Dalam sanad Ahmad ibn Hanbal, terdapat 7 orang perawi, yaitu:

1). Abu Rafi’ 5). Yahya ibn Sa’id

2). ‘Ubayd Allah ibn Abi Rafi’ 6). ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi

3). ‘Asim ibn ‘Ubayd Allah 7). Ahmad ibn Hanbal

4). Sufyan

d. Dalam sanad Abu Ya’la, terdapat 5 orang perawi, yaitu:

1). Husein ibn ‘Ali ra. 4). Yahya ibn al-‘Ala

2). Talhah ibn ‘Ubayd Allah 5). Abu Ya’la

3). Marwan ibn Salim

Adapun metode yang digunakan setiap perawi bervariasi, ada yang memakai haddasana, hadasani, ‘an dan qala. Variasi lambing periwayatan ini menujukkan adanya perbedaan metode periwayatan hadis yang dipakai perawi. Untuk sistematika sanad, lihat skema I dan II:

SKEMA I:




SKEMA II:



النبى ص. م.






















الترمذى


أحمد بن حنبل


أبوداود


C. Identitas dan Status Para Perawi (Kritik Sanad).

Dari dua skema yang digambarkan sebelumnya. Dapat diketahui secara jelas para perawi yang terlihat dalam periwayatan hadis-hadis tersebut. Kemudian untuk mengetahi secara detil identitas dan status setiap perawi, maka penulis menggunakan beberapa kitab rijal al-hadis,[12] yaitu Tahzib al-Tahzib, Taqrib al-Tahzib (karya Ibn Hajr al-‘Asqalani), al-Du’afa wa al-Matrukin (karya ibn al-Jauzi), dan Mizan al-‘Itidal (karya al-Zahabi).

Dalam hal ini, penulis membuat matrik masing-masing perawi dari beberapa jalur periwayatan tersebut dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Nomor perawi hadis (Nimrah)

2. Nama perawi atau mukharij (ism al-rawi aw al-mukharrij)

3. Nama Panggilan (al-kunniyah) atau gelar (al-laqb)

4. Guru-guru perawi (rawa’an)

5. Murid-murid perawi (rawa ‘anhu)

6. Tempat tinggal perawi (bilal al-iqamah wa al-maskan)

7. Genasi perawi (al-tabaqah)

8. Penelianan ulama terhadap perawi (al-jarh wa al-ta’dil li al-rawi)

9. Tahun wafat dan umur perawi (tarikh al-wafah wa al-‘umr)

10. Sumber rujukan atau referensi (al-masadir)

Dengan demikian, dapat dilacak kualitas hadis tersebut dari segi sanad-nya, apakah berstatus sahih, hasan maupun da’if, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn al-Salah yang dikutip al-Khatib tentang beberapa kaedah kesahihan hadis yaitu:

1. Kontinuitas sanad dari Nabi saw. sampai kepada mukharrij-nya (diketahui melalui guru, murid, tempat tinggal, generasi, tahun wafat, dan umur perawi).

2. Para perawinya dinilai memiliki ‘adalah dan dabt yang diistilahkan dengan siqah (diketahui melalui penilaian ulama hadis).

3. Terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illah), khusus untuk matn.[13]

Untuk matrik perawi hadis dari masing-masing jalur periwayatan, lihat lembar berikutnya:

Dalam tiga jalur sanad pada riwayat pertama (Abu Rafi’ al-Qitbi), terlihat adanya kontinuitas pada perawi dalam periwayatan, sejak dari sanad pertama (Nabi saw.) sampai sanad terakhir (mukharrij). Hl ini dapat diketahui dari ketersambungan guru dan murid pada setiap perawi, kemudian kesesuaian urutan generasi perawi yang sekalipun ada yang meloncat-loncat, namun hanya sedikit saja selisihnya dan dapat dikompromikan jika dilihat dari tahun wafat dan umur perawi.

Selain itu, semua perawi dinilai baik oleh para pakar hadis dengan predikat siqah, Hanya ada satu perawi, yaitu ‘Asim ibn ‘Ubaid Allah yang dinilai cacat oleh mereka secara umum. Sementara itu, perawi ‘Asim ini terdapat dalam semua jalur periwayatan, baik dari Abu Dawud, al-Turmuzi, maupun Ahmad. Dengan adanya perawi yang cacat ini secara otomatis akan menurun kualitas hadis tersebut karena kurang satu syarat dari beberapa kaedah kesahihan hadis.

Dengan demikian, maka hadis riwayat Abu Rafi’ dalam tiga sanad-nya seperti yang dijelaskan tadi dapat dikategorikan sebagai hadis da’if.

Adapun satu jalur sanad pada riwayat kedua (Husein ibn ‘Ali ra.), terlihat tidak adanya kontinuitas para perawi dalam periwayatan. Hal ini dapat dilihat dari keterputusan sebagai guru dan murid perawi, sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab rijal al-hadis tersebut, kemudian ketidaksesuaian urutan generasi yang meloncat-loncat, menunjukkan bahwa antara satu perai dengan perawi lainnya ada yang terputus, tidak sezaman dan apalagi mendengar langsung hadis tersebut dari perawi sebelumnya.

Selain itu, hampir semua perawi dinilai cacat oleh para pakar hadis dalam tingkatan tajrih terendah yang secara drastic menurunkan derajat dan kualitas hadis tersebut. Dengan demikian, maka hadis riwayat Husien ibn ‘Ali ra. dengan sanad seperti yang dijelaskan tadi, dapat dikategorikan sebagai hadis da’if dan bahkan termasuk kategori mawdu’.

Dari semua uraian tadi, maka penulis berkesimpulan sementara bahwa hadis-hadis tentang anjuran azan dan iqamah terhadap anak yangbaru lahir secara umum termasuk kategori lemah dari segi sanad.

D. Pendapat Para Ulama tentang Azan terhadap Anak yang Baru Lahir (Kritik Matn).

Meskipun dalam penelitian sanad telah diketahui bahwa hadis-hadis tenang azan terhadap anak yangbaru lahir ini termasuk dalam kategori da’if yang tertolak, namun dalam penelitian matn belum tetu demikian, sebab tidak menutup kemungkinan dari kritik matn ini dapat mengangkat derajar hadis tersebut, minimal sebagai hadis da’if yang diterima dalam kerangka fada’il al-a’mal.

Dari uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam matn hadis yang sahih tidak terdapat syuzuz (menyalahi periwayatan orang banyak yang siqah), maupun adanya ‘illah (cacat yang tersembunyi). Memang para pakar hadis nampaknya kesulitan dalam mengajukan unsur-unsur kritik matn. Meskipun Syuhudi Isma’il, dengan mengutip Salah al-Din al-Adabi menyatakan bahwa tolak ukur kritik matn adalah bahwa matn hadis itu tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran, hadis-hadis sahih, dan akal sehat, serta susunan pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri kenabian.[14]

Selanjutnya Syuhudi mengajukan tiga langkah metodologis penelitian matn, yaitu:

1. Meneliti matn dengan memperhatikan kualitas sanad.

2. Meneliti susunan lafal berbagai matn semakna.

3. Meneliti kandungan matn (kesesuaiannya dengan dalil-dalil yang sahih).[15]

Untuk butir pertama telah dilakukan penulis sebelumnya dan hasilnya menunjukkan bahwa sanad-sanad hadis tersebut berstatus lemah, bahwa untuk sanad Abu Ya’la termasuk dalam kategori da’if yang sangat berat.

Kemudian untuk butir kedua, dalam hal ini penulis menemukan adanya perbedaan lafal matn hadis dalam tiga jalur periwayatan yang bersumber dari Abu Rafi’. Namun perbedaan tersebut tidak membawa kepada perbedaan makna. Dalam riwayat al-Turmuzi dan Ahmad misalnya, diungkapkan dengan lafal rasulullah, sedangkan dalam riwayat Ahmad diungkapkan dengan bentuk dua atau musanna (uzunayn). Ini sama sekali tidak membawa perbedaan makna, sebab walaupun lafal uzun (teliga) disebut dengan bentuk tunggal, tetap saja berarti dua teliga, apalagi ditambah riwayat Ahmad yang menjelaskan bahwa Nabi saw. mengumandangkan azan di kedua teliga Hasan ibn ‘Ali ketika dia lahir. Hal ini menunjukkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan secara makna, atau memang disampaikan Abu Rafi’ dengan redaksi yang berbeda.

Dengan demikian, riwayat yang bersumber dari Abu Rafi’ ini berbeda dengan riwayat dari Husein ibn ‘Ali yang menyatakan bahwa azan didengarkan di teliga kanan, sedangkan iqamat di teliga kiri anak yang baru lahir itu. Meskipun demikian, kedua riwayat ini sama-sama mengindikasikan bahwa jika seorang anak lahir, maka hendaklah didengarkan suara azan terhadap anak yang baru lahir, karena kedua riwayat tadi saling menguatkan satu dengan lainnya, walaupun dalam sanad-nya terdapat kelemahan.

Adapun untuk butir ketiga, penulis menemukan adanya keterkaitan matn hadis-hadis tersebut dengan dalil-dalil yang sahih. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya para ulama dan berbagai kalangan yang menjadikan riwayat Abu Rafi’ umumnya dan riwayat Husein ibn ‘Ali khususnya tentang anjuran azan terhadap anak yang baru lahir dengan berbagai tinjauan dan menghubungkannya dengan dalil-dalil yang sahih. Di sini penulis mengambil beberapa pendapat ulama, dari kalangan fuqaha, sufi, maupun murrabi (pendidik).

Dari kalangan fuqaha seperti Sayyid Sabiq misalnya, memasukkan permasalahan ini ke dalam bahasan ‘aqiqah dengan sub bahasan al-azan fi uzun mawlud. Di sini dia menyatakan bahwa azan terhadap anak yang baru lahir di teliga kanannya dan iqamat di telinga kirinya merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan (sunnah). Hal ini menurutnya bertujuan agar sesuatu yang pertama kali didengarnya adalah nama Allah.[16] Selanjutnya Sabiq mengutip hadis yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu: pertama, yang bersumber dari Abu Rafi’ dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan al-Turmuzi yang men-tashih hadis ini,[17] kedua, yang bersumber dari al-Hasan ibn ‘Ali dalam riwayat Ibn Sunni yang tidak ada keterangan tentang penenilaiannya.[18]

Kemudian al-Bajuri, juga memasukkan permaslahan ini ke dalam bahasan ‘aqiqah dengan menyatakan bahwa di anatara perbuatan yang disunnahkan terhadap anak yang baru lahir adalah mengumandangkan azan di teliga kanannya dan iqamah di teliga kirinya dengan tujuan agar pelajaran yang pertama kali didengarnya ketika datang ke dunia adalah kalimat tauhid, sebaliknya nantinya ketika akan meninggal dunia diperdengarkan talqin yang di dalamnya ada kalimat tauhid, sesuai dengan hadis nabi saw. yang sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim:

حدثنا أبو كامل الجحدري فضيل بن حسين وعثمان بن أبي شيبة كلاهما عن بشر قال أبو كامل حدثنا بشر بن المفضل حدثنا عمارة بن غزية حدثنا يحيى بن عمارة قال سمعت أبا سعيد الخدري يقولا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقنوا موتاكم لا إله إلا الله (رواه : مسلم)[19]

Rasulullah saw., bersabda: “Talkinkan lah (beri pelajaran) orang-orang kalian yang akan meninggal dengan kalimat La ilaha illah illallah.” (H.R. Muslim).

Selanjutnya al-Bajuri juga mengutip dua hadis yang sama dengan Sabiq, dengan menyatakan bahwa riwayat Abu Rafi’ dalah berpredikat hasan sahih dalam penelitian al-Turmuzi, dan hadis ini menjadi penguat dari riwayat al-Hasan ibn ‘Ali yang dikeluarkan Ibn Sunni.[20]

Begitu pula dengan al-Syayrazi, memasukkan permaslahan di atas dalam bahasan ‘aqiqah dengan menyatakan bahwa diantara perbuatan yang dianjurkan (mustabbah) ketika anak lahir adalah mengumandangkan azan di teliganya, berdasarkan riwayat Abu Rafi’. Di sini, al-Syayrazi tidak menyebut keterangan azan di teliga kanan dan iqamat di teliga kiri dan tidak pula mengutip riwayat al-Hasan serta tidak menyebutkan kualitas hadis Abu Rafi’ yang dikutipnya.[21]

Adapun di kalangan sufi seperti Amin Kurdi, juga memasukkan permasalahan di atas dalam bahasan yang sama dengan menyatakan bahwa mengazankan anak yang baru lahir di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya termasuk perbuatan yang disunnahkan dengan tujuan yang sama agar yang pertama kali didengarnya adalah kalimat tauhid. Dalam hal ini, dia hanya mengutip riwayat al-Hassan yang dikeluarkan Ibn Sunni dan Au Ya’la dalam musnad-nya, tanpa menjelaskan kualitas hadis tersebut.[22]

Di kalangan pendidik (murabbi) seperti Nasih ‘Ulwan memasukkan permasalahan di atas pada bahasan tentang sesuatu yang perlu dilakukan seorang murabbi ketika kelahiran anak (ma yaf’aluhu wa al-iqamah ‘inda al-wiladah).[23] Di sini, ‘Ulwan menyatakan bahwa mengazankan anak yang baru lahir di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya termasuk salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islam. Dalam hal ini, dia juga mengutip kedua hadis yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ dan al-Hasan ‘Ali tanpa menerangkan kualitas kedua hadis tersebut. Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam karyanya Tuhfaj al-Mawdud yang menerangkan bahwa hikmah dari perbuatan tersebut tidak lain agar sesuatu yang pertama kali menembus pendengaran manusia adalah kalimat-kalimat seruan Allah yang mengandung kebesaran dan keangungan-Nya, serta syahadah (kesaksian) pertama memasuki Islam. Hal tersebut merupakan talqin (pengajaran) baginya tentang syiar Islam ketika memasuki Islam. Hal tersebut merupakan talqin (pengajaran) baginya tentang syiar Islam ketika memasuki dunia, sebagaimana halnya kalimat tauhid yang ditalqinkan ketika akan meninggal dunia. Pengaruh azan tersebut akan meresap dalam kalbunya dan akan mempengaruhinya meskipun dia sendiri tidak menyadarinya.[24]

Hikmah lainnya dari azan ini syaitan akan lari ketika mendengar azan, sedangkan syaitan selalu mengintip anak itu sehingga dia dilahirkan. Maka syaitan mendengar apa yang dapat melemahkan dan apa yang dibencinya pada saat dia terkait padanya. Dalam hal ini, ada satu hadis sahih yang diriwatkan al-Bukhari, yaitu:

"حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا نودي للصلاة أدبر الشيطان وله ضراط حتى لا يسمع التأذين ..." (رواه : البخارى)[25]

Rasulullah saw. bersabda: “Apabila dikumandangkan azan untuk salat, maka syaitan aklan lari berpaling sambil kentut sehingga dengan (suara kentut) itu, tidak terdengar suara azan,…(H.R. al-Bukhari).

Selain itu, dengan azan tersebut maka dakwah (seruan) kepada Allah, dan agama-Nya yang hanif, dapat mendahului dakwah syaitan. Azan inilah yang dimaksudkan dalam Alquran sebagai perkataan yang paling baik (ahsanu qawlan) dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا ... (فصلت/41: 33)

“Dan siapakan yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengajarkan amal saleh” (Q.S. Fussilat/41: 33)

Makna-makna yang dirinci oleh Ibn Qayyim ini menurut ‘ulwan merupakan bukti terbesar atas perhatian Rasulullah terhadap akidah dan keimanan, mengusir syaitan dan hawa nafsu pada saat pertama kali anak mencium bau dunia dan menghirup angin segar keberadaannya.[26]

Dari berbagai pendapat ulama tadi, dapat diketahui bahwa pada dasarnya, mereka menyatakan bahwa mengumandangkan azan di telinga anak yang baru lahir merupakan salah satu perbuatan yang dianjurkan (sunnah atau mustahabbah) dalam Islam dengan mendasarkannya pada kedua hadis tersebut, secara naql dan tujuan/hikmah yang tewrkandung didalamnya secara filosofis.

Selain itu, meskipun hadis riwayat al-Hasan dari segi sanad berstatus lemah pada tingkatan terendah, mengingat ada beberapa perawinya yang dinilai sangat lemah, pendusta dan tertuduh berdusta, namun pada riwayat Abu Rafi’, kelemahan sanad hadisnya tidak begitu keterlaluan, hanya satu orang perawi saja yang lemah, yaitu ‘Asim ibn ‘Ubayd Allah dan tarjih terhjadapnya pun tidak pada tingkatan terendah seperti riwayat al-Hasan, memiliki beberapa jalur periwayatan, ditambah lagi kandungan hadis ini masih sejalan dengan nas-nas yang lebih kuat (maqbul), baik ayat Alquran maupun hadis yang sahih serta bertujuan baik dalam rangka pendidikan Islam dini terhadap anak tersebut, maka penulis setelah meneliti sanad dan matn-nya, berkesimpulan bahwa hadis tentang anjuran azan terhadap anak yang baru lahir ini untuk riwayat Abu Rafi’ berstatus da;if yang dapat diamalkan (ma’mul bih),[27] dan bisa meningkat derajatnya menjadi hasan li gayrih dengan melihat qarinah yang dijelaskan tadi.

Atas dasar ini pula menurut penilaian penulis, al-Turmuzi yang menganut prinsip tasahul terhadap perawi dalam hadis-hadis fada’il al-‘amal, berani mentashih dan mentahsin hadis riwayat Abu Rafi’ tersebut yang diukuti oleh mayoritas ulama di berbagai kalangan kitab-kitab mereka.

Sedangkan untuk riwayat al-Hasan ibn ‘Ali yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dan In Sunni, menurut hemat penulis tidak bisa diamalkan karena derajatnya yang sangat lemah dari segi sanad-nya. Ini berarti bahwa di antara perbuatan sunnah yang disyari’atkan Islam terhadap anak yang baru lahir hanyalah mengumandangkan azan saja di kedua telinganya. Sedangkan untuk iqamah menurut al-Albani adalah riwayat yang qarib dan lemah.[28]

E. Penutup

Dari uraian tadi, penulis berkesimpulan bahwa hadis tentang anjuran azan terhadap anak yang baru lahir setelah meneliti sanad dan matn-nya, pada dasarnya berstatus da’if (lemah).

Untuk al-Hasan ibn ‘Ali berstatus da’if dengan tingkatan terendah dan tidak bisa diamalkan. Hal ini didasarkan pada sanad hadis yang tidak tersambung, tidak terdapat hubungan guru dan murid pada sebagian perawi, itegritas pribadi dan kapasitas intelektual sebagian perawi dinilai tidak baik oleh ulama hadis.

Sedangkan untuk riwayat Abu Rafi’ berstatus da’if yang dapat diamalkan dan naik derajatnya menjadi hasan li gayrih. Hal ini didasarkan pada sanad hadisnya yang bersambung, terdapat hubungan antara guru dan murid pada keseluruhan perawi, itegritas pribadi dan kapasitas intelektual para perawi dinilai baik oleh ulama, kecuali satu orang saja (yaitu ‘Asim) dan itupun tidak keterlaluan cacatnya. Selain itu, kandungan matn-nya pun tidak bertentangan dengan petunjuk nas-nas yang lebih sahih dan kuat, baik dari Alquran maupun hadis nabi yang sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud, Sulayman ibn al-Asy’as al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, Beirut, Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah, t.th.

Abu al-Husein Muslim ibn al-Hujjaj al-Qusyaiyri al-Naysaburi, Sahih Muslim, kitab Jana’iz, bab Talqin al-Mawta, Indonesia, Maktabah Dahlan, t. th.

Ahmad ibn, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

al-Albani, Muhammad Nasir al-Din, Silsilah al-Ahadis al-Da’ifah wa al-Mawdu’ah, Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 2000.

al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Guziy, Bandung, Syikr al-Ma’arif, t.th.

al-Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il, Sahih al-Bukhari, kitab al-Azan, bab Fadl al-Ta’zin, Indonesia, Maktabah Dahlan, t.th.

Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayruz Abadi al-Syayrazi, al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi’i, Beirut, Dar al-Fikr, 1994.

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

al-Jawjiyah, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Abu Bakr ibn Qayyim, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khayr al-‘Ibad, nasah di-tahqiq oleh Mustafa ‘Abd al-Qadir ‘Ata, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998.

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh, Beirut, Dar al-Fikr, 1989.

Kurdi, Muhammad Amin, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah al-‘Allam al-Guyub, Beirut, Dar al-Fikr, 1994.

al-Manawi, Muhammad ‘Abd al-Ra’uf, Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir li al-Sayuti, Beirut, Dar al-Fikr, 1972.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikr, 1983.

al-Sayuti, Jalal al-Din ibn ‘Abd al-Rahman, Tadrib al-Rawi, Beirut, Dar al-Fikr, 1993.

al-Tahhan, Muhammad ,Metode Takhrij dan Penelitian Sanad al-Hadis (terjemah), Surabaya, Bina Ilmu, 1995.

al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrah, Sunan al-Turmuzi, Beirut, Dar al-Fikr, 1994.

Ulwan, ‘Abd Allah Nasih, Tarbiyah al-Awlad, Beirut, Dar al-Salam, 1976.

Wensinck, A. J., Concodence et Indeces de la Tradition Musulmene, naskah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi, Leiden, Brill, 1946.



[1]Ashab al-Sunan merupakan para perawi (mukharrij) sekaligus penyusun kitab hadis yang berpredikat al-sunan, seperti Sunan al-Turmuzi (karya al-Turmuzi), Sunan Abi Dawud (karya Abu Dawud), Sunan al-Nasa’i (karya al-Nasa’i), Sunan Ibn Majah (karya Ibn Majah). Kitab-kitab hadis tersebut tidak sepenuhnya berstatus sahih, namun ada pula yang hasan, bahkan ada yang da’if.

[2] Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Abu Bakr ibn Qayyim al-Jawjiyah, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khayr al-‘Ibad, nasah di-tahqiq oleh Mustafa ‘Abd al-Qadir ‘Ata, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), juz II, h. 320.

[3]Muhammad al-Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad al-Hadis (terjemah), (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 2.

[4]Lihat A. J. Wensinck, Concodence et Indeces de la Tradition Musulmene, naskah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi, (Leiden: Brill, 1946), juz I, h. 43, Juz II, h. 300, Juz VII, h. 301.

[5]Penulis menemukan hadis ini dalam kitab penjelasan (syarah) nya, lihat Muhammad ‘Abd al-Ra’uf al-Manawi, Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir li al-Sayuti, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), Juz VI, h. 238.

[6]Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadis al-Da’ifah wa al-Mawdu’ah, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 2000), Juz I, h. 491.

[7]Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrah al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III, h. 183.

[8]Lihat Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’as al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah, t.th), juz IV, h. 328.

[9]Lihat Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz VI, h. 9, 391, 392.

[10]Muhammad Nasir al-Din al-Albani, loc. cit.

[11]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 51.

[12]Rijal al-hadis adalah para perawi yang meriwayatkan suatu hadis, baik dia seorang laki-laki maupun perempuan.

[13]Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut Dar al-Fikr, 1989), h. 303.

[14]Syudi Ismail, op. cit., h. 128.

[15]Ibid.

[16]Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Cet ke-4, Juz III, h. 281.

[17]Penelitian al-Turmuzi dengan predikat sahih terhadap hadis ini berbeda dengan penilaian penulis yang menyatakan da’if dari segi sanad-nya. Dalam hal ini, penulis tidak dapat melacak metode yang dipakai al-Turmuzi dalam menilai hadis ini, baik dalam kitab Sunan-nya maupun kitab Syarh-nya karena tidak ada keterangan rinci mengenai penjelasan kualitas sanad hadis tersebut. Hanya saja, al-Turmuzi setelah mengeluarkan hadis ini menyatakan ‘haza hadis sahih wa al-‘amal bih” (hadis ini sahih dan diamalkan). Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Sawrah al-Turmuzi, loc. cit.

[18]Sayyid Sabiq, loc. cit.

[19]Lihat Abu al-Husein Muslim ibn al-Hujjaj al-Qusyaiyri al-Naysaburi, Sahih Muslim, kitab Jana’iz, bbab Talqin al-Mawta, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th), Juz I, h. 631.

[20]Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Guziy, (Bandung: Syikr al-Ma’arif, t.th), Juz II, h. 304.

[21]Lihat Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayruz Abadi al-Syayrazi, al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi’i,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz I, h. 336.

[22]Lihat Muhammad Amin Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah al-‘Allam al-Guyub, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 234.

[23]Lihat ‘Abd Allah Nasih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Awlad, (Beirut: Dar al-Salam, 1976), Juz I, h. 73.

[24]Ibid.

[25]Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, kitab al-Azan, bab Fadl al-Ta’zin, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th), Juz I, h. 244.

[26]Ibid., h. 74.

[27]Penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Ibn Hajr al-‘Asqalani tentang kebolehan beramal dengan hadis da’if dengan tiga kualifikasi: yaitu kelemahan hadisnya tidak keterlaluan; kandungan hadisnya yang masih sejalan dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan sahih; dan kandungan hadis itu diamalkan atas pertimbangan kehati-hatian (ihtiat), bukan diyakini bersumber dari Nabi saw. Lihat Jalal al-Din ibn ‘Abd al-Rahman al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 113.

[28]Muhammad Nasir al-Din al-Albani, loc. cit.