Search This Blog

Tuesday, June 23, 2009

IQ, EQ dan SQ

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Penemuan mutakhir dalam neurosains semakin membuktikan bahwa bagian-bagian tertentu otak bertanggung jawab dalam menata jenis-jenis kecerdasan manusia. Kecerdasan matematika dan bahasa berpusat pada otak kiri. Namun, tidak sebagaimana peng­aturan berbahasa pada daerah Wernicke, Angular, atau Broca di otak kiri, kecerdasan matematika tidak terpusat secara tegas dalam bagian otak yang terletak di otak kiri itu. Kecerdasan musik dan spasial berpusat di otak sebelah kanan. Kecerdasan kinestetis sebagaimana dimiliki olahragawan terlatih, berpusat pada daerah motorik (gyrus precentral) di kulit otak, kecerdasan interpribadi dan antarpribadi ditata pada lobus prefrontal dan lobus temporal.

Mengacu pada penemuan neurosains itu, tak terhitung banyak­nya konsep pendidikan dan manajemen yang berpijak pada teori Gardner tersebut. Termasuk di sini penemuan teori dua otak dari Roger Sperry. Istilah Otak Kiri-Otak Kanan telah menjadi istilah umum. Para pakar pendidikan dan manajemen mulai berbicara ten­tang paradigma otak kiri-otak kanan. Walaupun banyak di antara mereka yang memiliki pengetahuan terbatas, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali, istilah otak kiri-otak kanan menjadi kata­-kata wajib dalam setiap pembicaraan mereka. Di Indonesia sendiri berkembang pelatihan mental Aritmatika yang memadukan kekuatan dua belahan otak tersebut. Ada juga pelatihan-pelatihan yang sebenar­nya lebih mirip pelatihan meditasi daripada pelatihan pengembangan otak. Di Jakarta, bahkan berdiri Pusat Kebugaran Otak yang, katanya, dapat membuat otak menjadi lebih segar. Mereka mengembangkan neurobics (latihan otak) selain aerobics.

Ahli saraf terkenal dari Universitas Indonesia, Prof. Sidiarto Kusumoputro, bahkan mengembangkan pelatihan otak yang di­dasari oleh penemuan spektakuler dalam neurosains itu. Pelatihan KISS ME, Neurobics, dan Brain Gym adalah pelatihan untuk op­timalisasi otak. Kreativitas, Imajinasi, Sosialisasi, Spiritual, Musik, dan Emosi (KISS ME), adalah pelatihan yang dapat membangunkan "raksasa tidur" otak manusia. Menggembirakan sekali karena pelatihan-pelatihan itu bertumpu pada kekuatan otak manusia. Mengapa demikian?

Karena, hal itu membuktikan bahwa kekuatan terbesar bukan terletak pada bagian luar tubuh manusia. Kekuatan ada pada diri manusia. Problemnya, manusia kurang begitu mengenal dirinya. Socrates benar ketika ia menyatakan bahwa masalah mendasar manusia adalah pengenalan diri. "Gnothi Teauton, " kata Socrates. "Kenalilah dirimu!"

"Pengenalan diri"' ternyata juga berbasis pada otak manusia. Danah Zohar, teolog dan filosof dari Inggris, mengembangkan konsep Spiritual Intelligence, dengan mendasarkan pada penemuan Rudolfo Llinas, Ramachandran, dan Michael Persinger tentang Osilasi 40 Hz yang berlangsung dalam otak manusia. Mereka berpendapat bahwa kesadaran diri sesungguhnya merupakan fungsi internal otak manusia. Tanpa rangsangan dari luar sekalipun, kesadaran diri manusia tetap ada. Demikian halnya dengan konsep Joseph deLoux dan Antonio Damasio.

Jauh sebelum Zohar, Persinger, deLoux, dan Damasio, psikolog Erich Fromm telah menyebut kulit otak sebagai dasar kesadaran diri manusia. Menurut Fromm, orientasi hidup manusia, yang antara lain termaktub dalam ajaran agama, sesungguhnya bersumber dari kulit otak tersebut.

Jauh sebelum Zohar dan Fromm, filosof Prancis Rene Descartes telah menyebut kelenjar pineal, yang persis berada di tengah otak, merupakan tempat bagi jiwa. Descartes yakin bahwa jiwa manusia memisahkan diri dari tubuh melalui kelenjar pineal ini. Orang Hindu menyebut kelenjar ini sebagai mata ketiga.

Tidak itu saja. Perkembangan neurosains dekade terakhir justru mengkritik beberapa konsep sebelumnya. Kritik itu jelas berimplikasi luas, tidak saja dalam pengobatan penyakit otak, tetapi juga dalam pengelolaan kecerdasan. Dua di antara sasaran kritik itu adalah paham bahwa: 1) otak tidak dapat membesar, dan, 2) otak berhenti tumbuh.

Pendapat pertama dikritik melalui serangkaian percobaan, ter­utama pada hewan percobaan. Para ahli menemukan bahwa ukuran otak dapat bertambah sejalan dengan pengayaan informasi ter­hadapnya. Jadi, bila ada penguatan informasi lama dan penambahan informasi baru, maka sel-sel otak segera berkembang membentuk hubungan-hubungan baru. Hubungan antar sel saraf, yang terjadi melalui perbanyakan sambungan dendrit, akan membesarkan otak. Semakin banyak jalinan sel saraf yang terbentuk, semakin kuat dan lama informasi itu disimpan. Rangsangan terus-menerus akan membuat otak makin segar.

Jalinan yang makin banyak dan luas, membawa informasi ke dalam "kamar" memori jangka panjang. Proses itu terjadi melalui serangkaian reaksi listrik dan kimiawi dalam sel-sel otak yang bertambah. Ini jelas membuat otak bertambah besar melalui perbanyakan kaitan sel sarafnya. Istimewanya lagi, pertambahan itu tidak sampai membuat otak menyembur keluar dari tengkorak kepala. Karena pertambahan itu, otak tidak pernah berhenti tumbuh Sepanjang usia manusia, sejauh ia mengisi otaknya dengan informasi­informasi baru, maka otaknya tidak akan aus dan rusak. Bahkan, pada saat-saat ini ia lebih banyak memecahkan masalah dengan otak emosional-intuitif dan otak spiritual daripada dengan otak rasional.

Howard Gardner, psikolog penemu multiple intelligences, merasa bahwa tujuh kecerdasan itu tidak cukup. Dalam buku terakhirnya, Intelligence Reframed, ia menambahkan tiga kecerdasan yang tak kalah pentingnya; kecerdasan naturalis, kecerdasan eksistensia, dan kecerdasan spiritual (Gardner, 1999: 47). Penambahan ini menarik karena makin banyak kecerdasan manusia yang terkuak, makin lengkap potensi-potensi yang dimiliki makhluk ini diketahui. Yang paling penting, Gardner makin menyadari bahwa ada aspek spiritual dalam kecerdasan manusia. Kesadaran ini, lima puluh tahun yang lalu, sulit ditemui pada manusia Barat seperti Gardner itu.

Sejalan dengan Gardner, ilmuwan suami istri Ian Marshal dan Danah Zohar memperkenalkan spiritual intellgence sebagai aspek ke­tiga dari dua aspek sebelumnya (IQ dan EQ. Zohar berpendapat bahwa pengenalan diri dan terutama kesadaran diri adalah kesadaran internal otak. Menurutnya, proses yang berlangsung dalam otak sendirilah tanpa pengaruh panca indra dan dunia luar yang mem­bentuk kesadaran sejati manusia. Karena itu, spiritual intelligence adalah ultimate intelligence!

Yang paling menarik justru terletak pada dasar yang melatarbelakangi konsepsi baru ini. Para ahli otak menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia. Itu artinya, manusia bukan saja berpotensi pada kekuatan rasional dan emosional, sebagaimana dikonsepkan oleh Wiliam Stern dan Daniel Goleman, melainkan juga termaktub potensi spiritual dalam dirinya, tepatnya, di dalam otaknya.

Setidaknya ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak manusia:

1) Osilasi 40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan Rudolpho Llinas, yang kemudian dikembangkan menjadi spiritual intelligence oleh Danah Zohar dan Ian Marshal,

2) Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh Joseph deLoux dan kemudian dikembangkan menjadi emotional intel­ligence oleh Daniel Goleman serta Robert Cooper dengan konsep suara hati,

3) God Spot pada daerah temporal yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyanur Ramachandran, serta bukti gangguan perilaku moral pada pasien dengan kerusakan lobus prefrontal, dan

4) Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu mem­berikan informasi tentang adanya hati nurani atau intuisi dalam otak manusia. Penelitian itu juga berhasil membuktikan bahwa hati nurani itu mengawal manusia setua evolusi biologi umat manusia. Dengan kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak mungkin lari dari Tuhan[1].

IQ, EQ dan SQ merupakan satu kesatuan potensi yang dimiliki oleh seseorang. Dimana ketiga hal tersebut saling memiliki hubungan keterkaitan. Adapun mengenai pembahasan lebih rinci akan diuraikan pada bab berikutnya.

BAB II

KECERDASAN INTELEKTUAL QUOTIENT

A. Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan atau inteligensi, dalam bahasa Inggris disebut intelligence, menurut J.P Chaplin berarti:

1) Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif;

2) Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif;

3) Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. Kemudian William Stern memberikan definisi secara lebih luas lagi, sebagaimana dikutip oleh Crow dan Crow, bahwa inteligensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuhan­kebutuhan baru, keadaan ruhaniah secara umum yang dapat menyesuaikan dan menghadapi problema-problema dan kondisi­kondisi yang baru dalam kehidupan.

Dari berbagai pendapat mengenai pengertian inteligensi, dapat dieleminer empat makna yang paling umum, yaitu:

1) Kemampuan untuk berpikir dan mengambil pelajaran dari pengalaman;

2) Kemampuan untuk berpikir atau menalar secara abstrak;

3) Kemampuan beradaptasi;

4) Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri guna menyelesaikan tugas-tugas secara tepat.

Pada mulanya, kecerdasan hanya dikaitkan dengan kemampuan struktur akal (intelek) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif, seperti yang dikembangkan oleh Binet dan Simon (tahun 1905) yang melakukan tes kecerdasan individual dengan penekanan pada masalah penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan, dan daya penyesuaian dalam bertingkah laku. Kecerdasan intelektual (intelligence quotient disingkat IQ) ini kadang-kadang disebut juga dengan kecerdasan rasional (rational intelligence) sebab segala tingkah laku pemecahan masalah dan penyesuaian diri bertumpu pada potensi rasio.

Kemudian baru pada tahun 1995, Daniel Goleman mempo­pulerkan hasil penyelidikan Peter Salovey dan John Mayer tentang Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence disingkat E.I. atau E.Q.). Kecerdasan emosional merupakan gambaran dari lima hal pokok yaitu: kemampuan mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengatur atau mengelola emosi diri sendiri, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenal emosi orang lain (empati), dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain.' Goleman mengatakan berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat menunjukkan skor IQ anak-anak makin tinggi, sementara kecerdasan emosi mereka justru menurun. Dalam semua pengkajian terhadap ratusan ribu pekerja, terbukti yang menjadi inti utama keberhasilan mereka adalah kecerdasan emosi. Perbandingan pengaruh IQ dan EQ terhadap kesuksesan hidup seseorang adalah 20 %: 80%.

Tidak lama kemudian, di awal tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University, membuktikan secara ilmiah adanya kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient disingkat S.Q.) sebagai puncak kecerdasan, dengan karyanya yang berjudul Spiritual Quotient: The Ultimate Intelligence yang terbit di London. Teori ini didasarkan pada dua temuan ahli psikologi/syaraf. Pertama Michael Persinger dan Ramachandran, menemukan eksistensi God Spot dalam diri manusia, yang menjadi pusat spiritual. God Spot itu terletak di antara jaringan syaraf dan otak manusia. Kedua, Wolf Singer menemukan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syarafyang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah terdapat fitrah manusia yang terdalam.

Kecerdasan spiritual merupakan sebuah konsep bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan menangkap makna-makna, nilai, dan kualitas kehidupan spiritualnya. Jadi dataran spiritual di sini mencakup hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning), mencari makna hidup (the meaning of life), dan mendambakan hidup yang bermakna (the meaningful life). Istilah `spiritual atau God Spot' pada konsep Danah Zohar dan Ian Marshall tersebut dapat dipahami sebagai `suara hati yang terdalam', `rohaniah', atau dalam istilah al­Ghazali disebut `al-Lathifat al-Rabbaniyah'. Menurut Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, makna spiritual dalam konsep ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan seperti yang kita pahami dalam Islam.

Baru-baru ini, tepatnya pada tahun 2001, Ary Ginanjar Agustian menulis suatu karya yang mampu mensinergikan teori kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual seperti digambarkan di atas ke dalam sebuah konsep Emotional Spiritual Quotient (disingkat E.S.Q.) yang berangkat dari pemahaman secara luas terhadap enam rukun iman dan lima rukun Islam disertai pengalaman pribadinya di bidang kehidupan ekonomi dan manajemen.

Dalam Islam, upaya-upaya mensinergikan fungsi akal, nafsu dan hati (spi-ritual) untuk menjadi manusia hamba Allah yang mulia (cerdas) dan mendapatkan limpahan anugerah yang tak terhingga (berupa ma'rifah atau al-qurb) banyak dicontohkan oleh Nabi, Sahabat, Tabiin dan para sufi. Bidang kajian ini disebut tasawuf (sufisme) sebagai bagian esoterik ajaran Islam.

Kecerdasan yang hakiki menurut konsep tasawuf Islam adalah bersinarnya hati karena dapat menangkap cahaya kebenaran dari Tuhan. Dan hal ini didapat melalui upaya yang sungguh-sungguh dalam koridor yang padu (terpadu antara tauhid-syariat-hakikat). Lain halnya dengan konsep kecerdasan intelektual, emosional dan spiri­tual sebagaimana telah disinggung di atas, landasannya adalah psikologi modem (aliran humanistik dan psikoanalitis) sehingga nilai atau makna yang dikandungnya hanya berada pada dataran kemanusiaan universal (insaniyah) atau antroposentrisme.

Teori kecerdasan emosional Goleman dan kecerdasan spiritual Danah Zohar merupakan termuan terakhir saat ini di bidang psikologi dan pendidikan, pengaruhnya sangat cepat dan luas, karena mereka menemukan ukuran kecerdasan baru setelah lama dunia psikologi dan pendidikan menganggap IQ sebagai satu-satunya ukuran untuk meramalkan kesuksesan seseorang.

Bagi masyarakat Islam, kemajuan ilmiah seperti ini harus diimbangi dengan kajian dalam bidang yang sama dari sumber ajaran agama dan pemikiran para tokoh terkemuka, sehingga teori-teori Is­lam yang universal di bidang ini tidak terlupakan.

Al-Ghazali salah seorang sufi terkemuka yang mampu mengharmonisasikan pandangan-pandangan teologi dan syariat dengan tasawuf dalam Islam. Konsepnya yang sangat luas terutama yang berkenaan dengan konsep hakikat jiwa manusia, melatih dan mengendalikan nafsu (riyadhat al-nafs), pengawasan diri, penyucian jiwa dan pengembangan nilai-nilai spiritual (al-fithrah al-ilahiyah) melalui metode psiko-edukasi dan sufistik (riyadhah dan mujahadah) untuk mencapai derajat al-`Arifin9 (manusia yang memperoleh pencerahan Ilahiyah [ESQ tinggi] ).

Pemikiran Al-Ghazali mengenai masalah kejiwaan, yang terhimpun dalam kitabnya Ihya `Ulum al-Din, dikategorikan oleh A.J. Arberry sebagai psychology and spiritual dicipline dan spiritual experience, suatu konsep yang disusun al-Ghazali berdasarkan pengetahuan ilmiah (teori) dan praktik yang dialaminya.'° Kitab Ihya `Ulum al-Din menurut Zurkani Jahja, ditulis al-Ghazali dari tahun 489 s.d. 495 Hijrah merupakan karya tulisnya yang terbesar, memuat ide sentral al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam." Pada tahun 1998, Mubin (Dosen Fakultas Tarbiyah), pernah melakukan telaah pada kitab tersebut, dan menemukan berbagai dimensi (topik) psikologi yang penting di dalamnya untuk dimunculkan dalam diskursus psikologi spiritual saat ini. Konsep­konsep al-Ghazali mengenai bagaimana mengelola nafsu dan membersihkan jiwa (al-qalb) agar menjadi cemerlang (intelligence menurut istilah psikologi) dalam menjalani kehidupan menuju kebahagiaan yang hakiki, nampaknya telah mencakup baik konsep kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual yang ditemukan tokoh-tokoh di atas, bahkan konsep kebermaknaan hidup yang hakiki sangatlah jelas, sehingga menampakkan perspektifnya yang holistik dan Islami.

Sampai saat ini, terdapat beberapa istilah yang diberikan terhadap konsep al-Ghazali ini, yaitu di antaranya Tazkiyat al-Nafs oleh Al-Thakhisi dan M. Solihin, Spiritualisasi Islam oleh Yahya Jaya, Kecerdasan Qalbiah oleh Abd. Mujib, dan penulis sendiri cenderung menyebutnya ESQ al-Ghazali.

Mengedepankan pemikiran al-Ghazali, meskipun klasik, mengenai kecerdasan emosional dan spiritual menjadi sangat penting terutama bagi umat Islam karena kitab al-Ghazali sering menjadi rujukan dalam pengajian tasawuf di masyarakat, dan selain itu pula agar konsep-konsep yang dikembangkan dalam pembentukan kepribadian Islam mempunyai perspektif makna dan nilai yang jelas, bukan saja universal tapi juga transendental, tidak terhenti pada spiri­tual-antroposentrisme tetapi spiritual Ilahiyah. Oleh karena itu, penelitian secara sistematis dan mendalam terhadap pemikiran al­ Ghazali terutama yang tertuang dalam karya besarnya tersebut mengenai konsep kecerdasan emosional dan spiritual menjadi sangat diperlukan, agar ditemukan bangun teori atau struktur yang jelas jika dibanding dengan teori kecerdasan yang baru ditemukan saat ini. Penelitian atau kajian mengenai masalah ini, penulis beri judul "Konsep Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ) dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali (Telaah Pemikiran al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulum al-Din) ".

B. Kecerdasan Emosional Spritual: Beberapa Batasan

Emosi kadang-kadang disebut juga perasaan, adalah suatu situasi biologis dan psikologis seseorang. Menurut Chaplin, "emosi dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku".

Paling tidak ada empat emosi dasar yang ada pada manusia, yang sifatnya universal dan disepakati oleh para ahli psikologi, yaitu: marah, takut, sedih dan senang/kenikmatan. Situasi emosi tersebut terekspresi dalam perasaan yang hebat serta mendalam, dan melahirkan tingkah laku yang khas dalam menghadapi suatu peristiwa atau pemenuhan keinginan. Menurut al-Ghazali situasi jiwa itu dikenal dengan istilah al-nafs (nafsu), yang merupakan bagian dari terminologi al-qalb dalam dimensinya yang jasmaniah.

Istilah spiritual menurut Chaplin, dapat bermakna:

1) Berkaitan dengan roh, semangat atau jiwa;

2) Religius, yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan; menyangkut nilai-nilai transendental;

3) Bersifat mental, sebagai lawan dari material, fisikal atau jasmaniah. Dalam Islam istilah ini lebih populer dikenal dengan sebutan rohaniah, dari al-ruh, dan menurut al-Ghazali ia merupakan dimensi rohani dari al-qalb, yang halus (al-lathifat-al-rabbaniyah) yang dapat mengenal kebenaran yang sesungguhnya dan berhu­bungan dengan Tuhan.'S Dalam bahasa Indonesia, spiritual berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin), sedangkan perasaan batin atau hati yang terdalam yang telah menda­pat cahaya Tuhan disebut hati nurani. Jadi, istilah spiritual dalam konsep ini intinya adalah hati nurani.

Dengan demikian, kecerdasan emosional yang dimaksudkan dalam buku ini adalah kecerdasan mengelola emosi (nafsu) yang ada pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain, peristiwa atau rangsangan yang datang, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Sedangkan kecerdasan spiritual maksudnya adalah kecerdasan menangkap dan mengembangkan nilai atau makna yang luhur, baik pada dataran kemanusiaan (horizontal) maupun dataran religius­transendental (vertikal-Ilahiyah), kemampuan mengelola situasi hati nurani yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia agar melahirkan perilaku yang baik dan bermakna menurut pandangan manusia, benar menurut syariat agama dan bernilai (mulia) dalam pandangan Tuhan, sehingga kebahagiaan hidup yang sejati dapat diperoleh.

Dilihat dari sisi konsep EQ dan SQ yang berkembang sekarang ini di dunia psikologi sebenarnya dapat ditemukan konsep dari beberapa tokoh, tetapi tanpa bermaksud menafikan konsep yang lain, konsep EQ Goleman dan SQ Danah Zohar dianggap lebih komprehensif, sehingga untuk melakukan konstruksi pemikiran ESQ al-Ghazali, penulis hanya memakai bangun EQ dan SQ dari tokoh tersebut.

Kemudian dilihat dari sisi pemikiran al-Ghazali sendiri pun, memungkinkan untuk diperoleh banyak sumber hasil karyanya, tetapi berpijak pada hasil-hasil penelitian orang terdahulu diketahui bahwa kitabnya Ihya `Ulum al-Din merupakan karyanya yang paling lengkap, dan pembahasan mengenai kejiwaan justru yang terbanyak ada dalam kitab ini. Oleh karena itu, buku ini lebih memfokuskan diri pada telaah pemikiran al-Ghazali pada kitab tersebut[2].

Pokok-pokok Kecerdasan Emosional (EQ) Goleman

Dan Kecerdasan Spiritual (SQ) Danah Zohar

A. Kecerdasan Emosional (EQ) Menurut Daniel Goleman

Kecerdasan emosional (EQ) adalah kekuatan dibalik singgasana kemampuan intelektual. Ia merupakan dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan-keterampilan Anda untuk :

- Menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-impuls.

- Tetap optimis jika berhadapan dengan kemalangan dan ketidakpastian.

- Menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif.

- Mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan-tujuan.

- Menangani kelemahan-kelemahan pribadi.

- Menunjukkan rasa empati kepada orang lain.

- Membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi[3].

Para pakar memberikan definisi beragam tentang EQ diantaranya adalah : Kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan Emosional dalam bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Menurut definisi ini EQ mempunyai empat dimensi, yaitu :

  1. Mengenal, menerima dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional). Caranya mampu membedakan emosi orang lain, bentuk dan tulisan, baik melalui suara, ekspresi wajah dan tingkah laku.
  2. Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual.

Caranya perubahan emosi bisa mengubah sikap optimis menjadi pesimis. Terkadang emosi mendorong manusia untuk menerima pandangan dan pandapat yang beragam.

  1. Memahami dan menganalisis emosi, mampu mengetahui perubahan dari satu emosi ke emosi lain seperti perubahannya dari emosi marah menjadi rela atau lega.
  2. Mengelola emosi, mampu mengelola emosi negatif dan memperkuat emosi positif. Hal ini dilakukan dengan tanpa menyembunyikan informasi yang disampaikan oleh emosi-emosi ini dan tidak berlebihan[4].

Aspek-aspek EQ :

a. Kemapuan mengenal diri (kesadaran diri).

b. Kemampuan mengelola emosi (penyesuain diri).

c. Kemampuan memotivasi diri.

d. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.

e. Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati)

EQ (Emosional Quotient) mempunyai peranan penting dalam meraih kesuksesan pribadi dan professional, EQ dianggap sebagai persyaratan bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya karena masyarakat percaya bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat di luar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga.

Dr. Daniel Goleman memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi dan professional, yaitu :

a) 40% prestasi kerja ditentukan oleh EQ

b) Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4% [5]

DASAR PSIKOLOGI EQ

Emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup anda, anda menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, cinta dan sebagainnya adalah akibat dari atau hanya sekedar respon anda terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada anda.

Emosi sangat erat kaitannya dengan kecerdasan emosi itu sendiri, dimana merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan mampu mengendalikan stress.

Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali doronngan hati, ketekunan, semangat dan motivasi serta kendali dorongan hati empati dan kecakapan sosial.

Kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, dan kerjasama[6].

Optimis adalah sikap cerdas emosi yang mendongkrak kinerja dan kemungkinan untuk sukses dalam hidup asumsi, dasarnya adalah keyakinan seseorang bahwa ia lah yang menguasai segala peristiwa dalam hidupnya dan mampu menghadapi segala tantangannya[7].

1. Hakikat Kecerdasan Emosional

Pertanyaan yang paling mendasar dan sering dilontarkan ketika teori kecerdasan emosional ditampilkan sebagai satu bentuk kecerdasan yang baru dalam lapangan psikologi, ialah apa sebenarnya pengertian emosi, dimana letaknya dalam struktur fungsional jiwa manusia, dan apa ciri-ciri kecerdasan emosional itu.

Goleman sebetulnya termasuk pengagum filsafat Aristoteles, teori evolusi Darwin dan psikologi Freud. Dia berpendapat, pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi jelas merupakan pandangan yang amat picik. Sebutan Homo sapiens (spesies yang berpikir), merupakan anggapan yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains saat ini tentang emosi dalam kehidupan manusia. Dari pengalaman yang terjadi, apabila masalahnya menyangkut pengambilan keputusan dan luar lingkaran emosi diisi oleh suasana hati yang, secara teknis, lebih tersembunyi dan berlangsung jauh lebih lama daripada emosi. Di luar suasana hati itu terdapat temperamen, yaitu kesiapan untuk memunculkan emosi tertentu atau suasana hati tertentu yang membuat orang menjadi murung, takut, atau gembira. Dan di luar bakat emosional semacam itu, ada juga yang namanya gangguan emosi seperti depresi klinis atau kecemasan yang tidak kunjung reda, yaitu ketika seseorang merasa terus menerus terjebak dalam keadaan memedihkan.

Manusia itu pada hakikatnya mempunyai tiga unsur daya, yaitu daya emosi, rasio dan nafsu. Pikiran yang lahir dari dinamika daya­daya jiwa itu secara dikotomis terbagi menjadi dua macam yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional.

Dikotomi emosional dan rasional kurang lebih sama dengan istilah orang awam antara `hati' dan `kepala'; mengetahui sesuatu itu benar `di dalam hati' merupakan tingkat keyakinan yang berbeda - yang entah bagaimana merupakan kepastian yang lebih mendalam - daripada menganggapnya benar dengan menggunakan akal. Ada suatu tahapan ajeg dalam perbandingan kendali rasional-emosional terhadap pola pikir; semakin kuat perasaan, semakin dominan pikiran emosional dan semakin tidak efektif pikiran rasional.

Kedua pikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional, pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi cara-cara mereka yang amat berbeda dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan kita menjalani kehidupan duniawi. Biasanya ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan emosi tersebut. Namun, pikiran emosional dan rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi-mandiri; masing-masing mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling I terkait, di dalam otak.

Di dalam banyak atau sebagian besar peristiwa, pikiran-pikiran ini terkoordinasi secara istimewa; emosi sangat penting bagi pikiran, pikiran sangat penting bagi emosi. Tetapi, bila muncul nafsu, keseimbangan itu menjadi goyah, pikiran emosi lah yang menang serta menguasai pikiran rasional.

Tidak cukup sampai di situ, Goleman juga memaparkan di mana letak emosi dalam struktur otak manusia (anatomi neurobiologi) yang didasarkan pada hasil penelitian LeDoux, sebagai berikut:

Pada manusia, amigdala (dari kata Yunani `amygdala' yang berarti buah almond atau buah badam) adalah kelompok struktur yang terkoneksi berbentuk buah badan yang bertumpu pada batang otak bagian sisi, dekat alas cincin limbik. Amigdala manusia relatif lebih besar daripada amigdala primata lainnya.

Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting otak hidung primitif yang dalam evolusinya memunculkan krnteks serta kemudian neokorteks. Korteks atau neokorteks adalah limbik yang berfungsi untuk berpikir, sementara amigdala berfungsi mengolah emosi. Apabila amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang amat mencolok dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa; keadaan ini kadang-kadang disebut kebutaan afeksi.4 Tanpa amigdala, tampaknya orang telah kehilangan semua pemahaman tentang perasaan dan kemampuan merasakan. Amigdala berfungsi sebagai gudang ingatan emosional dan makna emosional itu sendiri.

Amigdala bahkan mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan sebelum otak neokorteks memutuskannya. Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruhnya pada neokorteks menjadi dasar (inti) kecerdasan emosional. Amigdala ibarat satu perusahan sekuriti dengan operator-operator yang siap siaga mengirimkan panggilan darurat ke dinas pemadam kebakaran, polisi, dan tetangga, kapan saja sistem pengamanan rumah memberi isyarat bahaya.

Penelitian itu juga menemukan sinyal-sinyal indera dari mata atau telinga telah lebih dahulu berjalan di otak menuju talamus (penerima dan distributor informasi), kemudian - melewati sebuah sinaps tunggal - menuju ke amigdala; sinyal kedua dari talamus disalurkan ke neokorteks otak yang berpikir. Pencabangan ini memungkinkan amigdala mulai memberi respons sebelum neokorteks, yang mengolah informasi melalui beberapa lapisan jaringan otak sebelum otak sepenuhnya memahami dan pada akhirnya memulai respons yang telah diolah lebih dulu. Jadi, pada satu situasi tertentu, amigdala dapat bekerja melangkahi peran neokorteks.

Sambungan antara amigdala dan neokorteks merupakan medan perang sekaligus persetujuan kerja sama yang dibuat oleh kepala dan hati, nalar dan perasaan.

Hubungan antarsirkuit ini menjelaskan mengapa emosi demikian penting bagi nalar yang efektif, baik dalam membuat keputusan­keputusan yang bijaksana maupun sekadar dalam memungkinkan berpikir dengan jernih.

Dari berbagai tinjauan mengenai otak emosional dan hubungannya dengan otak rasional, akhirnya Goleman menyebutkan ciri-ciri dari kecerdasan emosional yang menjadi perhatiannya adalah:

1. mampu memotivasi diri sendiri;

2. bertahan dalam menghadapi frsutrasi;

3. mengendalikan dorongan hati;

4. tidak melebih-lebihkan kesenangan;

5. mampu mengatur suasana hati;

6. menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir;

7. berempati dan berdoa.

2. Cara-Cara Membangun Kecerdasan Emosional

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa emosi dan rasio merupakan dua daya jiwa yang mempunyai fungsi dasar berbeda, kadang bisa bekerja sama tetapi kadang-kadang bisa saling mengalahkan. Oleh karena itu, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membawa kecerdasan (rasio) ke dalam emosi, sehingga emosi menjadi cerdas.

Untuk menjawab persoalan ini, Goleman meminjam pendapat Peter Salovey, seorang psikolog Universitas Yale di Amerika, yang telah memetakan secara detail dan dengan penjelasan yang baik mengenai bagaimana inteligensi itu dapat masuk dalam dunia emosi sehingga menjadi apa yang disebut kecerdasan emosional. Cara tersebut terdiri dari lima ranah, yaitu: pertama mengenal emosi diri sendiri; kedua mengelola emosi; ketiga memotivasi diri sendiri; keempat mengenal emosi orang lain; dan kelima adalah membina hubungan.

a. Mengenal Emosi Diri Sendiri. Suatu kesadaran dimana kita dapat mengenal perasaan kita seperti apa adanya. Kesadaran ini merupakan kunci utama kecerdasan emosi. Dengan kemampuan ini kita dapat memonitor perasaan kita dari waktu ke waktu sehingga memperoleh insight' (pemahaman) diri. Pemahaman diri dapat membantu kita dalam mengambil keputusan. Ajaran Soc­rates, demikian kata Goleman, `Kenalilah dirimu' menunjukkan inti kecerdasan emosional, suatu kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Ahli-ahli psikologi menggunakan istilah yang agak rumit yaitu metakognisi untuk menyebut kesadaran tentang proses berpikir, dan meta-mood untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Saya (Go­leman) lebih menyukai menggunakan istilah kesadaran diri (self awareness) dalam arti perhatian terus menerus terhadap keadaan batin. Ciri kesadaran ini mirip dengan apa yang disebut oleh Freud sebagai `perhatian tak memihak' dalam psikoanalisisnya. Suatu perhatian yang memandang kejadian apa pun melalui kesadaran yang netral, sebagai saksi yang berminat namun tidak bereaksi. Mereka juga menyebutnya `ego yang mengamati'. Antonio Damasio menyebut dengan istilah mendengarkan suara hati. Menurut Mayer, ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dalam proses ini, yaitu: pertama, sadar diri (sehat jiwanya, selalu berpandangan positif, tidak risau, tidak larut dalam emosinya, dapat dengan cepat melepaskan diri dari suasana hati yang jelek); kedua, tenggelam dalam permasalahan (larut dalam emosi, tak berdaya melepaskan diri, mudah marah, dan dapat lepas kendali); ketiga, ialah pasrah menerima begitu saja suasana hati mereka (kemunginannya. adalah terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan sehingga motivasi untuk mengubahnya rendah, atau terjadinya sikap tidak hirau meskipun tertekan mungkin karena depresi9 dan tenggelam dalam keputusasaan. Setelah mampu mengenal emosi yang ada dalam diri, artinya seseorang telah mampu melihat peta dirinya sendiri dan menyadari akan berbagai kelebihan, kelemahan, dan kebutuhan-kebutuhan biologis-psikologis-sosiologisnya, maka langkah berikutnya adalah berupaya mengelola berbagai emasi tersebut.

b. Mengelola Emosi. Disebut juga penguasaan diri, yang maksudnya adalah kemampuan untuk menghadapi badai emosional yang dibawa oleh nasib, bukan menjadi budak nafsu. Orang-orang Romawi dan gereja Kristen kuno menyebutnya temperantia (kendali diri), yakni kearifan diri untuk mengendalikan emosi. Tujuannya adalah keseimbangan emosi, bukan menekan emosi; setiap perasaan mempunyai nilai dan makna, ke arah nilai dan makna positiflah pengelolaan emosi diarahkan sehingga menjadi satu kekuatan dalam kesatuan fungsional bersama kemampuan kognitif. Kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan membosankan, terputus dan terkucil dari kekayaan hidup itu sendiri. Tetapi, sebagaimana dikatakan Aristoteles, yang dikehendaki adalah emosi yang wajar, keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalah kebosanan dan jarak; tetapi bila emosi tak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan (mania). Di antara emosi negatif yang paling sulit untuk dikendalikan adalah amarah. Sebab menurut Zillmann pemicu amarah yang universal adalah perasaan terancam bahaya, baik mengenai harga diri atau martabat. Ada beberapa cara untuk mengatasi amarah, yaitu: pertama dengan menggunakan dan mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan amarah karena pikiran-pikiran itu merupakan tanggapan ash dari interaksi yang mempertegas dan mendorong letupan awal amarah dan tanggapan-tanggapan ulang berikutnya yang mengobarkan api amarah tersebut. Untuk yang pertama ini, pilihan waktu amatlah penting, semakin dini cara tersebut diterapkan dalam siklus amarah, akan semakin efektif, bahkan amarah dapat sepenuhnya diputus bila informasi yang meredakan itu muncul sebelum amarah diletupkan. Cara kedua ialah memahami orang lain dalam situasi yang menimbulkan amarah, sehingga akan terjadi penilaian ulang akan peristiwa-peristiwa yang memancing amarah (disebut juga positive thinking). Cara ketiga ialah pergi menyendiri untuk mendinginkan amarah. Cara keempat adalah berolah raga atau melakukan relaksasi. Setelah emosi dapat terkelola dengan baik, berarti kekuatan jiwa yang positif telah dimiliki, maka langkah berikutnya adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan jiwa itu untuk mencapai suatu tujuan " hidup yang disebut motivasi diri.

c. Memotivasi Diri Sendiri. Maksudnya adalah mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara memusatkan perhatian (konsentrasi) kepada tercapainya tujuan dan kreativitas. Orang-orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri adalah orang­orang yang produktif dan efektif dalam segala hal yang dikerjakannya, karena ia bekerja disertai dengan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri untuk mencapai prestasi. Berdasarkan penelitian Goleman terhadap mahasiswa Asia di sekolah-sekolah Amerika, menunjukkan bahwa kesuksesan kehidupan yang didorong oleh motivasi tertentu, selain motivasi bawaan, terbukti memperlihatkan unjuk kerja yang menakjubkan. Untuk dapat memotivasi diri dalam mencapai suatu keberhasilan hidup maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Kemampuan mengendalikan dorongan hati (dorongan nafsu) agar motivasi tadi jangan terganggu oleh kesenangan sesaat, oleh karena itu diperlukan kesabaran dan keteguhan hati. Keadaan ini oleh Walter Mischel disebut sebagai "penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu sasarari'; 2) Kemampuan menghindarkan kecemasan dan kekacauan pikiran; 3) Menum­buhkan suasana hati yang bahagia (senang) juga merupakan unsur yang penting untuk meraih kesuksesan yang besar; 4) Harapan keberhasilan dan optimisme, karena dengan pengharapan yang kuat seseorang akan memandang segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, kendati dalam usahanya mencapai tujuan itu ditimpa kemunduran dan berbagai gangguan (frutrasi), Seligman mende­finisikan orang yang optimis ialah orang menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang; 5) Kepercayaan akan kemampuan diri; dan 6) Membawa einosi menjadi flow ialah suatu keadaan emosi melampaui diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan melalui konsentrasi tinggi, sehingga menimbulkan kebahagiaan, kesenangan, keefektifan spontan, dan terbebas dari gangguan emosional, bukan dipaksakan atau berusaha habis-habisan. Flow adalah perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ektase ringan karena terfokusnya perhatian. Sampai di sini, keberhasilan pribadi mungkin sudah dapat dicapai, tetapi ada satu hal yang belum terukur yaitu bagaimana orang lain di samping kita. Menurut Gardner, kecerdasan intrapribadi dapat tercapai tetapi belum kecerdasan antar-pribadi yang juga merupakan bagian penting dalam konsep kecerdasan emosional. Oleh karena itu, dua langkah berikutnya, merupakan kecerdasan.antar pribadi, terdiri dari: mengenal emosi orang lain dan menjalin hubungan tidak bisa diabaikan.

d. Mengenal emosi orang lain. Disebut juga empati (empathy), yang berarti kemampuan mental bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respons emosional yang sama dengan perasaan orang tersebut, memahami emosi orang lain dan ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Empati paling dasar adalah bagaimana hubungan kasih sayang antara ibu dan anak. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan­pesan non-verbal (yaitu nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya yang tidak terungkap melalui kata-kata). Empati lebih dalam maknanya daripada perasaan simpati (rasa kasih, rasa tertarik, atau rasa belas kasih terhadap kemalangan orang lain), sedangkan pada empati mulai dari simpati, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain sampai kepada melahirkan sikap dan tindakan empati. Kepedihan orang lain merupakan kepedihan diri sendiri. Merasakan perasaan orang lain adalah menyayangi. Oleh karena itu, lawan empati adalah antipati. Sikap empatik adalah terus menerus terlibat dalam pertimbangan-pertimbangan moral, sebab dilema moral melibatkan calon korban: haruskah Anda berbohang, kata Hoffman, untuk menjaga perasaan seorang sahabat? Akhirnya Hoffman berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial - misalnya seseorang yang dalam keadaan sakit, bahaya, atau kemiskinan - dan ikut merasakan kemalangan merekalah yang mendorong orang untuk bertindak memberi bantuan. Kemudian kemampuan yang sama untuk merasakan diberi empati, untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, membuat seseorang menganut prinsip-prinsip moral tertentu. Empati juga melahirkan keterbukaan, kejujuran, kasih sayang, suka memaafkan, suka menolong, cinta dan identifikasi. Selanjutnya Goleman menye­butkan, kehidupan tanpa empati akan melahirkan perbuatan­perbuatan kejahatan seperti: pembunuhan, perampokan, pemerkosaan anak kecil, kejahatan rumah tangga, kebohongan pada diri sendiri dan orang lain, dan sebagainya dari perbuatan zhalim. Dalam psikologi orang itu disebut psikopat atau sosiopat. Psikopat terkenal kejam karena menarik diri sekaligus tidak sedikit pun memiliki rasa menyesal, bahkan untuk tindakan-tindakan yang paling keji dan paling tak berperasaan. Ketidakmampuan untuk merasakan empati atau belas kasihan dalam bentuk apapun disebut psikopati.'3 Bila begitu masalahnya, maka tanpa empati mustahil orang mampu menjalin hubungan sosial yang baik, hubungan penuh kasih sayang, dan hubungan kerja sama untuk tugas-tugas guna kemaslahatan bersama dan umat manusia. Tetapi dengan empati, langkah kelima dari kecerdasan emosional ini (membina hubungan sosial) akan dapat diujudkan.

e. Membina hubungan sosial. Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Suat keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan komunikasi sosial, mereka adalah bintang-bintang pergaulan. Sebaliknya, tidak dimilikinya keterampilan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau dapat terjadinya bencana antarpribadi. Sesungguhnya, ketidakmampuan membina hubungan sosial inilah yang menyebabkan orang­orang yang IQ-nya paling tinggi pun dapat gagal dalam membina hubungan mereka baik hubungan dalam rumah tangga maupun hubungan dengan orang lain, karena penampilannya angkuh, mengganggu, atau tak berperasaan. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina keakraban hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, dan membuat orang­orang lain merasa nyaman. Ada beberapa kunci sukses kecakapan sosial, di antaranya: 1) mengungkapkan perasaannya sendiri kepada teman bicara, yang oleh Paul Ekman disebut tatakrama tampilan sesuai dengan konsensus sosial mengenai perasaan­perasaan mana saja yang dapat diperIihatkan secara wajar pada saat yang tepat; 2) keterampilan menggunakan ekspresi dan penularan emosi sehingga akan terjadi pertukaran emosi secara halus dan menyenangkan, dan dengan terjadinya sinkroni (pengi­riman dan penerimaan) suasana hati akan sangat menentukan bagi terciptanya interaksi yang baik; 3) keterampilan untuk menggerakkan orang lain; 4) keterampilan merundingkan pemecahan masalah dan mencegah konflik; 5) mempunyai kemampuan analisis sosial yang baik untuk menuju kepada titik kebersamaan. Keterampilan-keterampilan ini merupakan unsur­-unsur untuk menajamkan kemampuan antarpribadi, unsur-unsur pembentuk daya tarik, keberhasilan sosial, bahkan karisma. Mereka dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan orang, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskan dengan jelas sebagai panduan bagi kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh sekitarnya karena secara emosional dapat menyenangkan dan membuat rasa tenteram. Ditolak oleh kelompok pergaulan, dibenci dan dimusuhi adalah sebagian dari indikasi kegagalan dalam aspek membina hubungan sosial.

Orang yang mampu melakukan kelima ranah sebagaimana diuraikan di atas merupakan orang yang sangat cerdas emosionalnya. Lalu, apakah setiap orang akan mampu mempunyai kecerdasan yang lengkap seperti itu? Menurut Salovey, sebagaimana dikutip Goleman, tentu saja kemampuan dasar orang berbeda-beda dalam wilayah ini; beberapa orang di antara kita barangkali amat terampil menangani kecemasan diri sendiri misalnya, tetapi agak kerepotan meredam kemarahan orang lain. Landasan di balik tingkat kemampuan ini tentu saja adalah saraf, tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa otak itu bersifat plastis - sangat mudah dibentuk, dan terus menerus belajar. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki: sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya di mana masing­masing wilayah menampilkan bentuk kebiasaan dan respon yang, dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan.

Paradigma cara membangun EQ yang dikonstruksikan Goleman intinya adalah mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi agar mampu melihat dan menampilkan perilaku terbaik serta tidak mendapat hambatan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Cara ini yang seharusnya sekarang dikembangkan di sekolah-sekolah kita saat ini, agar kenakalan remaja dapat ditekan.

Untuk itu Goleman menawarkan satu kurikulum self science (pendidikan diri) untuk kecerdasan emosional yang materi utamanya adalah:

1) Kesadaran diri;

2) Pengambilan keputusan pribadi;

3) Mengelola perasaan;

4) Menangani stres;

5) Empati;

6) Komunikasi;

7) Membuka diri;

8) Pemahaman;

9) Menerima diri sendiri;

10) Tanggung jawab pribadi;

11) Ketegasan;

12) Dinamika kelompok;

13) Menyelesaikan konflik[8].

B. Kecerdasan Spiritual (SQ) Menurut Danah Zohar - Ian Marshall

1. Hakikat Kecerdasan Spiritual(SQ)

SQ (Kecerdasan Spritual) adalah sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. PAUL EDWAR berpendapat SQ adalah bukti Ilmiah. Ini adalah benar ketika anda merasakan keamanan (Secure), penuh cinta (Love) dan bahagia (Happy). Ketika dibedakan dengan suatu kondisi dimana anda merasakan ketidak amanan, ketidak bahagiaan, dan ketidak cintaan.

Menurut penelitian Neorolog dan Ramachandran di California, mereka menemukan adanya titik Tuhan (God Spot) di dalam otak manusia. Pusat spiritual tersebut bersinar (bergetar) ketika seseorang terlibat dalam pembicaraan tentang topic-topik spiritual dan agama.

Danah Zohar memberikan pengertian SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar[9].

Danah Zohar salah seorang tokoh psikologi Barat modern yang menyadari bahwa sesungguhnya manusia itu adalah terdiri dari tiga dimensi yaitu: body, mind dan soul (disebut pula roh atau spiritual) atau tridimensional." Kemudian ia mengatakan, pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebu­tuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar atau pokok mengenai , hakikat kehidupan. Manusia diarahkan, bahkan ditentukan, oleh suatu kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan dialami baik kehidupan dalam keluarga, masyarakat, karier, agama maupun dalam alam semesta. Sebagian antropolog dan neurolog, kata Zohar, menyatakan bahwa kerinduan akan makna dan nilai evolusioner yang ditawarkannya itulah yang pertama kali membawa manusia keluar dari hutan dua juta tahun silam. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan akan makna melahirkan imajinasi simbolis, evolusi bahasa, dan pertumbuhan otak manusia yang sangat pesat. IQ dan EQ, terpisah atau bersama-sama, tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia dan kekayaan jiwa serta imajinasinya.'e

Zohar mengakui adanya tiga proses psikologis, meskipun keba­nyakan psiklogi Barat (yang paling berpengaruh misalnya Freud) pada awalnya mengakui hanya dua proses psikologis, yaitu:

a. Proses primer atau id: yang pada dasarnya merupakan alam tak sadar (unconscious) alam tidur, mimpi, memori yang tertekan, dan lain-lain. Di sinilah kerjanya emosi, yang menimbulkan kecerdasan emosi. Proses ini terletak pada bagian tengah jiwa.

b. Proses sekunder, dunia sadar atau ego: yang bersifat logis, rasional, dan linear. Dari sinilah lahirnya IQ. Secara neurobiologis, tampak bahwa kedua proses ini dilandasi oleh pikiran paralel atau asosiatif (proses primer) dan pikiran seri (proses sekunder). Proses sekunder ini terletak di bagian luar.

c. Dan yang ketiga menurut Zohar adalah proses tersier: suatu proses berpikir unitif, yang menggabungkan dan memfasilitasi kedua proses di atas dan berkaitan dengan spiritualitas manusia, yang melahirkan SQ. Proses tersier terletak di bagian pusat jiwa manusia.

Ditinjau dari segi landasan aliran psikologi yang dipakai oleh Zohar, sebagaimana terungkap dalam tulisannya, bahwa bangun dasar teori SQ-nya adalah sebenarnya didasarkan pada pemikiran Carl Gustav Jung untuk menunjuk adanya unsur roh atau spiritual pada manusia yang menimbulkan ketidaksadaran kolektif (the collective unconscious) sebagaimana diyakini oleh orang beragama. Selain itu, dalam mengembangkan teori hidup bermakna dan bahagia, Zohar menggunakan dasar teori psikologi analitis Victor Fank12' yang terkenal dengan teori Logo-terapi, yang juga memandang manusia sebagai satu totalitas, terdiri dari dimensi fisik, psikologis, dan dimensi spiritual. Kedua teori tersebut (Jung dan Frarikl) memecahkan dominasi psikologi analisis Freud dalam pemikiran dunia psikologi modern.

Atas dasar pandangan Jung dan Frankl itu, Zohar berpendapat bahwa kualitas tertinggi kehidupan spiritual bersifat transendensi. Pengertian transendensi bagi Zohar berarti sesuatu yang membawa kita mengatasi (beyond) - mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi diri kita pada saat ini. la membawa kita melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman kita itu ke dalam konteks yang lebih luas. Transendensi memberi kita kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik sesuatu itu berada di dalam diri kita sendiri maupun di dunia di sekitar kita. Beberapa orang yang pernah mengalami transendensi ini menyebut sesuatu itu sebagai "Tuhan"; yang lain menamainya pengalaman mistik; dan yang lain lagi merasakannya melalui keindahan setangkai bunga, senyuman seorang anak, atau seuntai nada musik.

Bila dilihat dari sudut pandang neurobiologi, yaitu mengenai modulasi otak manusia, maka Persinger dan Ramachandran, telah menemukan adanya titik Tuhan (God Spot) atau modul Tuhan (Gad Module) pada bagian lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis. Apabila lobus temporal dirangsang akan melahirkan pengalaman spiritual. "Titik Tuhari' ini telah berevolusi di dalam otak untuk tujuan tertentu, tetapi mereka menambahkan bahwa hal ini tidaklah membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada atau bahwa manusia benar-benar berkomunikasi dengan-Nya. Lalu apa artinya penelitian ini?

Menurut Zohar, "Titik Tuhan' merupakan modul terisolasi dari jaringan saraf di lobus temporal. Seperti halnya modul terisolasi lainnya di dalam otak - pusat pengucapan, pusat irama, dan sebagainya – ia memberikan kemampuan khusus, tetapi ia harus terintegrasi dengan modul-modul yang lain. Kita dapat melihat Tuhan, tetapi tidak dapat membawa Tuhan ke dalam kehidupan kita. "Titik Tuhari' mungkin merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi SQ, tetapi bukan syarat cukup (sufficient condition). Orang yang mempunyai SQ tinggi kemungkinan besar mempunyai aktivitas tinggi pada "Titik Tuhan". Akan tetapi tingginya aktivitas "Titik Tuhan" tidak dengan sendirinya menjamin SQ tinggi. Untuk mencapai SQ tinggi maka seluruh bagian otak, seluruh aspek diri, dan seluruh segi kehidupan harus diintegra­ sikan. Wawasan dan kemampuan khusus yang berkaitan dengan "Titik Tuhan" itu harus dipadukan menjadi bangunan umum dari emosi, motivasi, dan potensi kita, serta membawanya ke dalam dia­log dengan pusat diri dan cara mengetahuinya yang khusus.

Jika dikaitkan dengan pemikiran mistik, maka SQ yang menyinari jalan kita, oleh ahli mistik disebut "mata hati" (eye of the heart), bagi para ahli mistik Yahudi dan Kristen abad pertengahan, "mata hati" adalah kiasan bagi "intuisi". Seseorang yang mengenal Tuhan, kata Bahya ibn Paquda, akan melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga, menangkap segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap inderanya, dan memahami tanpa pikirannya. Inti dari diri yang secara spiritual cerdas adalah, pada akhirnya, hampa kuantum, landasan dari keberadaan itu sendiri. la adalah landasan yang tenang dan selalu berubah, dan hati yang mengenalnya adalah hati yang tenang dan selalu berubah.

Secara konkret Zohar menyebutkan ada sembilan ciri atau indikator SQ yang telah berkembang dengan baik, yaitu:

  1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara aktif dan spontan) ;
  2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi;
  3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan;
  4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit;
  5. Kualitas hidup diilhami oleh visi dan nilai-nilai;
  6. Keengganan untuk menimbulkan kerugian yang tidak perlu;
  7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik);
  8. Kecenderungan untuk bertanya "Mengapa?" atau "Bagaimana jika?" dan berusaha mencari jawaban yang mendasar;
  9. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai "bidang mandiri" - yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Sembilan indikator tersebut memang tidak dikaitkan dengan agama. Sebab menurut Zohar, SQ tidak sama dengan beragama, dan tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. Pandangan ini didasarkan pada hasil penelitian Gordon Allport, lima puluh tahun silam, menunjukkan bahwa orang memiliki pengalaman keagamaan lebih banyak di luar batas-batas arus utama lembaga keagamaan daripada di dalamnya. Pengertian agama secara formal, dalam hal ini menurut Zohar, adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara ekstenal. Ia bersifat top-doum, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi. Sedangkan SQ merupakan kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta. Kecerdasan spiri­tual adalah kecerdasan jiwa. SQ tidak bergantung pada budaya maupun nilai yang telah ada, tetapi menciptakan secara kreatif kemungkinan untuk menemukan dan memiliki nilai-nilai baru. Oleh karena itu, SQ membuat agama menjadi mungkin diperlukan, tetapi SQ tidak bergantung pada agama.

2. Cara-Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual

SQ kolektif dalam masyarakat modern, menurut Zohar, adalah rendah. Kita berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh sifat-sifat: materialisme, ketergesaan, egoisme diri yang sempit (picik), kehilangan makna dan komitmen. Namun demikian, kecerdasan spiritual itu, secara individu, secara umum dapat diting­katkan dengan meningkatkan penggunaan proses tersier psikologis kita - yaitu memunculkan kecenderungan: untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan antara segala sesuatu, untuk membawa ke permukaan asumsi-asumsi mengenai makna di balik atau di dalam sesuatu, menjadi lebih suka merenung, sedikit menjangkau keadaan di luar diri kita, bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani.

Secara konkret, Zohar menyebutkan delapan cara yang harus dilakukan secara pribadi, untuk dapat menjadi cerdas secara spiritual dalam budaya sekarang, yaitu:

  1. Mengenali motif kita yang paling dalam (Knowing our deepest motives). Motif, yang oleh sebagian orang menyebutnya niat atau tujuan hidup, adalah energi jiwa yang sangat besar. Motif mengge­rakkan potensi dari pusat diri menuju permukaan atau lapisan ego. Melalui motif itulah, kita bertindak di dunia. Sebagian motif itu berada pada lapisan sadar dan sebagian lagi ada yang berada dalam lapisan tak-sadar karena adanya tekanan tertentu. Dalam suatu kebudayaan yang bodoh secara spiritual, motif bisa menyimpang karena tekanan sosial dan ekonomi yang mengelilingi kita, me­maksa kita untuk menganggap pemuasan segala keinginan menjadi kebutuhan diri. Padahal ke inginan itu tak akan pemah terpuaskan. Salah satu jalan untuk menjadi cerdas dalam menghadapi motivasi adalah mencari realitas di balik setiap hasrat di permukaan, kemu­dian menempatkan keinginan itu ke dalam kerangka yang lebih mendalam dan lebih luas dari motivasi atau tujuan hidup kita yang paling dalam yaitu motif meraih makna, motif mencapai keutuhan atau integritas, motif utama dari kehidupan yaitu untuk apa kita hidup dan menjalani kehidupan ini.
  2. Kesadaran diri yang tinggi. Kesadaran diri (A High Degree o f Self­Awareness) adalah salah satu kriteria tertinggi dari kecerdasan spiritual yang tinggi, namun merupakan prioritas terendah dalam kebudayaan yang bodoh secara spiritual. Untuk membentuk kesadaran diri, kita harus banyak merenungkan diri kita sendiri, kehidupan batin kita, dan motif utama hidup kita. Berhenti sejenak dari kegiatan atau kesibukan rutin untuk berpikir dan berimajinasi serta berkomunikasi dengan diri kita yang terdalam agar tetap berorientasi pada tujuan. Zohar memberikan petunjuk praktis untuk dapat menumbuhkan kesadaran diri yang tinggi adalah:

1) Melakukan meditasi;

2) Membaca puisi atau buku yang berarti;

3) Berjalan-jalan ke hutan atau beristirahat melepaskan pik'iran dan tenaga dari kesibukan sehingga didapatkannya ruang untuk berpikir jernih;

4) Bersungguh-sungguh dalam mendengarkan alunan musik dan menyelami asosiasi mental dan emosional yang dihasilkannya;

5) Bersungguh-sungguh memperhatikan suatu kejadian atau peristiwa pada had itu dan memikirkannya kembali untuk mencari nuansa dan asosiasi yang lebih penting;

6) Menyimpan buku harian yang ditulis mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri sendiri serta memberikan tanggapan terhadap peristiwa tersebut, mengapa terjadi;

7) Menyimpan buku harian berisi mimpi dan selanjutnya, merenungkan mimpi-mimpi tersebut;

8) Setiap malam menggali kembali hari yang baru lalu, apa yang sebaiknya dan bisa dilakukan untuk berikutnya.

  1. Tanggap terhadap diri yang terdalam (Responsive to the Deep Self). Melalui cara-cara di atas, akhirnya adalah diri yang dalam yang hidup di dalam tubuh kita masing-masing, berlabuh pada kosmos secara keseluruhan dan tinggal bersama kebutuhan manusia untuk menghidupkan makna, visi, dan nilai kolektif. Suatu makna atau nilai luhur yang universal, yang menyatukan umat manusia, yaitu cinta dan kedekatan, kegembiran dan ketakjuban.
  2. Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan (A Capacity to Use and Transcend Difficulties). Merupakan suatu kemampuan meningkatkan tanggung jawab dan peranan dalam kehidupan, memanfaatkan SQ bawaan menanggapi segala sesuatu yang terjadi pada diri dan lingkungan. Ketika mengalami situasi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan karena suatu penyakit atau musibah, kita harus memilih reaksi yang tepat dan mengatasi penderitaan itu untuk menemukan maknanya (hikmah) bagi kehidupan. Menganggap rasa sakit, penderitaan, atau kesu­litan sebagai suatu tantangan dan bahkan sebagai peluang untuk mendapatkan yang lebih baik.
  3. Kemampuan berdiri menentang orang banyak (Standing against the crowd). Para psikolog menyebutnya mandiri di lapangan (field. independent), yang berarti mampu berdiri menentang orang banyak, mampu berpegang pada pendapat yang tidak populer jika hal itu memang benar-benar diyakininya sebagai suatu kebenaran yang berasal dari diri yang dalam, bukan sesuatu yang hanya berasal dari lapisan ego. Jadi, sikap ini bukanlah suatu egoisme, tetapi keteguhan mempertahankan kebenaran atau nilai yang telah diperoleh melalui kesadaran diri yang tinggi. Orang semacam ini tidak mau masuk ke dalam budaya ikut-ikutan, kebudayaan orang banyak. Dia mempunyai individualitas sejati, suatu kepribadian yang tidak terpecah.
  4. Keengganan untuk menyebabkan kerusakan (Reluctance to cause harm). Manusia dan makhluk lainnya mempunyai pusat yang sama dalam satu pusat kuantum, sebagai suatu gelombang yang bertemu pada hampa kuantum. Diri saya adalah diri orang lain juga. Seseorang yang tinggi SQ-nya mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, dia merugikan dirinya sendiri. Ketika seseorang mencemari atmosfer dengan sampah atau dengan kemarahan, dia sebenarnya mencemarkan paru-paru atau jiwa orang lain dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, perilaku memeli­hara dan berbuat kebaikan terhadap manusia dan alam serta meng­hindari perbuatan yang menyebabkan kerusakan merupakan ciri SQ yang tinggi.
  5. Menjadi cerdas secara spiritual dalam agama (Being Spiritually Intelligent about Religion) . Sebagaimana dinyatakan pada bagian awal, bahwa SQ tinggi tidak harus berkaitan dengan agama. Or­ang yang sangat religius bisa jadi bodoh secara spiritual; sebaliknya seorang ateis yang keras dan kaku bisa jadi cerdas secara spiritual. Namun, tantangan mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Kebanyakan di antara kita membutuhkan semacam kerangka keagamaan - berupa pikiran para guru besar, perbuatan para orang suci, dan petunjuk perilaku suatu aturan etika - sebagai panduan untuk menjalani kehidupan. Adanya "Titik Tuhan" dalam susunan saraf otak menunjukkan bahwa kemampuan untuk menjalani peng-alaman keagamaan dan atau keyakinan memberikan suatu keuntungan evolusioner pada spesies kita. Ia menghubungkan kita dengan makna dan nilai dengan cara yang dapat kita ikuti, mendorong kita berjuang, memberi kita suatu tujuan, suatu konteks. Yang membedakan seseorang yang beragama bodoh secara spiritual dan cerdas secara spiritual bukanlah perbedaan agamanya, tetapi ditentukan oleh: sikap, kualitas dan upaya mencari makna serta nilai, kedalaman dan luasnya keyakinan, dan ditentukan pula oleh sumber yang dalam dari keyakinannya.
  6. Menjadi cerdas secara spiritual mengenai kematian (Being Spiri­tually about Death). Barangkali aspek yang paling bodoh secara spiritual dari kebudayaan modern adalah ketidakmampuan kita berurusan dengan kematian. Kebanyakan negara Barat hanya mempunyai sedikit ritual yang bermakna untuk kematian. Bahkan, tak satu pun yang mempunyai perspektif lebih luas, yang di dalamnya kematian dapat dianggap sebagai bagian proses kehidupan. Ketakutan akan kematian timbul karena tidak adanya perspektif, ketidakmampuan menempatkan kematian di dalam suatu kerangka makna dan nilai yang lebih luas. Kehidupan dan kematian semuanya merupakan bagian proses s'iklus energi yang timbul dari hampa kuantum, yang dalam waktu singkat mengambil suatu bentuk dan kemudian larut kembali ke dalam kehampaan lagi. Demikian seterusnya. Suatu pemahaman akan kematian yang cerdas secara spiritual ialah mampu memandang seluruh konteks keberadaan yang lebih luas ini, yang menganggap kematian tidak lain dari suatu bagian dari proses yang berkelanjutan.

Cara-cara meningkatkan SQ di atas, menurut Zohar, dapat teraplikasikan dalam enam jalan (Six Paths Towards Greater Spiri­tual Intelligence). Istilahpath di sini dapat diartikan "wilayah kerja". Atau, dalam wacana tasawuf dapat disebut thariqat dalam maknanya yang umum. Masing-masing jalan menggambarkan jenis kepribadian seseorang dalam kaitannya dengan kecerdasan spiritual pada jalan tersebut. Jalan-jalan tersebut adalah:

Jalan I : Jalan Tugas (Duty); jenis kepribadian adalah konvensional; tekanan keagamaan berupa "kepatuhan".

Jalan II : Jalan Pengasuhan (Nurturing); jenis kepribadian sosial; tekanan keagamaan berupa "cinta, kasih sayang dan terbuka".

Jalan III:Jalan Pengetahuan (Knowledge); jenis kepribadian investigatif; tekanan keagamaan berupa "memahami dan ' mempelajari".

Jalan IV Jalan Perubahan Pribadi (Personal Transformation); jenis kepribadian artistik; tekanan keagamaan berupa "keutuhan, pencarian, individuasi dan ritual".

Jalan V Jalan Persaudaraan (Brotherhood); jenis kepribadian realistis; tekanan keagamaan berupa "persaudaraan univer­sal, kerelaan berkorban dan keadilan".

Jalan VI:Jalan Kepemimpinan yang penuh Pengabdian (Servant Leadership); jenis kepribadian pengusaha; tekanan keagamaan berupa "menyerah, menyatu dengan Tuhan, dan menjadi pendeta".

Untuk mencapai hidup yang bahagia dengan SQ yang tinggi, jalan-jalan ini harus dipergunakan sesuai dengan keperluan dan masalah yang dihadapi. Tidak mungkin seseorang dapat menye­lesaikan semua masalah hidupnya jika hanya menggunakan satu atau dua jalan saja, tetapi tak seorang pun dapat benar-benar sempurna, benar-benar utuh. Keenam jalan spiritual ini menuju ke pusat, ke suatu pengalaman yang disebut pencerahan (enlightenment). Namun, jika dijalani dengan cara yang secerdas mungkin, semua jalan itu juga berasal dari pusat, kembali ke dunia.

Zohar menyebut satu contoh, Buddha membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencari dan menderita agar dapat mencapai pencerahan, tetapi ketika dia telah mencapainya, dia tidak membiarkan dirinya menghilang begitu saja ke dalam Nirwana. Sebaliknya, Bud­dha kembali ke dunia agar semua orang mendapat pencerahan. 4rang biasa yang ber-SQ tinggi tidak hanya mencari kebahagiaan mengetahui pusat, tetapi menanggapinya secara spontan, lalu mengambil tanggung jawab untuk membawa kembali dan membagi dengan seluruh dunia cahaya yang telah dilihatnya. Dia menjadi orang tua yang mengalami pencerahan, guru yang mengalami pencerahan, koki yang mengalami pencerahan, kekasih yang mengalami pencerahan, dan seterusnya. Jadi, ada suatu spiral eksistensi (a spiral of exist-ence), menuju dan berasal dari pusat pada setiap jalan yang telah digambarkan itu.

Bila dicermati semua cara-cara dan langlah-langkah untuk membangun atau meningkatkan kecerdasan emosial sebagaimana dikonsepsikan oleh Goleman terdahulu, dan dihubungkan dengan cara-cara dan langkah-langkah membangun atau meningkatkan kecerdasan secara spiritual sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Zohar-Marshall, jelas sekali terlihat adanya jalinan yang tak bisa dipisahkan. Untuk dapat hidup dengan SQ yang tinggi, maka langkah pertama, kedua, dan ketiga, sebagaimana dikemukakan Zohar, adalah: mengenal motif diri sendiri, kesadaran diri yang tinggi, dan menanggapi secara bijak segala dorongan dan keinginan nafsu sehingga menimbulkan efek yang positif. Ketiga macam cara ini sebenarnya adalah substansi dari kecerdasan emosional. Kemudian baru pada cara kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan, yang benar­benar berbeda dan menjadi ciri cara kerja SQ.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa kecerdasan emosional merupakan langkah awal untuk menjadi cerdas secara spiritual. Atau dengan kata lain, SQ lebih luas daripada EQ; di dalam SQ ada EQ; tetapi di dalam EQ belum tentu diperoleh SQ.

Meskipun pada bagian awal bukunya, Zohar, mengatakan bahwa SQ tidak mesti berhubungan dengan agama, tidak berhubungan dengan keimanan dan etika dasar dari agama, sehingga seorang ateis pun bisa menjadi cerdas secara spiritual. Dia mencoba menunjukkan verifikasi SQ dari berbagai aspek ilmu, dari neuro-biologi, antropologi, psikologi dan sains, namun pada akhirnya dia tidak mampu lagi menjelaskan kecuali menggunakan perspektif agama. Dia meminjam contoh agama Hindu, Budha, pendapat tokoh-tokoh mistik Yahudi dan Islam, dan yang paling banyak adalah keyakinan agama Kristen. Hal ini dimaklumi karena dia sendiri adalah seorang Kristiani.3' Enam jalan menuju kecerdasan spiritual yang lebih tinggi sebagaimana telah diungkapkan, sebagian besar didasarkan pada mitos (kepercayaan) agama Kristen.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Khalil Khavari dan beberapa tokoh lainnya - bahwa betapun SQ tidak mungkin dipisahkan dengan keyakinan dan nilai etika dalam agama - adalah benar. Zohar, meskipun di bagian awal pernyataannya tidak mengakui hal itu, tetapi pada puncak teori bagaimana mening­katkan SQ, dia sendiri secara tidak langsung menghapus pernyata­annya, karena ia sendiri menggunakan paradigma agama (ada Tuhan yang diimani sebagai sumber spiritual, ada nilai luhur dan sah yang dipercaya sebagai petunjuk hidup). Istimewanya adalah, Zohar mampu mensinerjikan teori-teori neurobiologi, antropologi, psikologi dan sains dengan jalan-jalan sufisme dan filsafat etika dari berbagai agama besar dunia untuk membangun kepribadian manusia modern yang sehat dan bahagia (kebahagiaan hidup yang holistik bukan kepribadian yang terpecah).

Persoalan berikutnya adalah, bagaimana konsep pembentukan SQ, termasuk juga EQ ini, bila dikaitkan dengan konsep-konsep sufisme (tasawu fl dari salah seorang tokoh besar Islam (al-Ghazali), yang banyak berbicara mengenai cara-cara mengendalikan nafsu dan melatih jiwa agar hati (secara spiritual) menjadi bersinar sehingga lahirlah perilaku yang luhur penuh makna (cerdas) dalam berhu­bungan dengan manusia, alam, dan Tuhan[10].

BAB III

KESIMPULAN

Pembahasan mengenai pemetaan tiga kecerdasan manusia dan relasi antar ketiganya dapat disimpulkan sebagai berikut :

Sudut Pandang / Aspek

Jenis Kecerdasan

IQ

EQ

SQ

Al – Qur’an

‘Aql

Nafs

Qalb

Psikologi Modern

Mind

Body

Soul

Produk Kecerdasan

Rasional

Emosional

Spritual

Model Berpikir

Seri

Asosiatif

Unitif

Dasar Filosofis / Psikologi

Newtonian

Humanisme

Transpersonal

Kebahagiaan

Material

Instingtif

Ruhaniyah

Keunggulan

Logis, akurat, tepat, dapat dipercaya

Mengenal nuansa dan ambiguitas, berinteraksi dan berkembang melalui pengalaman

Fleksibel, kreatif, transformative, intuitif, infinite player, melakukan konstektualisasi, memberi makna dan true happines

Kelemahan

Liner, deterministik, finite player, tidak kreatif, tidak fleksibel dan terikat aturan.

Tidak akurat, lambat dalam belajar, terikat dengan pengalaman, sulit berbagi pengalaman.

Tidak memiliki kerangka logika formal dan fluktuatif.

Hubungan Spiritual Quotient denganEmotional Quotient

Cooper dan Sawaf mendefinisikan Emotional intelligence sebagai.... ability to sense, understand, and effectively apply the pozver and acumen of emotions as a source of human energy, infor­mation, connection, and influence (1997: xiii). Emotional quotient yang didefinisikan semacam ini telah mengantarkan orang pada sebuah keadaan yang maha hebat dan positif (Agustian, 2001: xli). Namun demikian Agustian memandang bahwa EQ telah cenderung hanya mengantarkan manusia pada hubungan kebendaan dan hubungan antara manusia.

Sebaliknya, spiritual quotient cenderung menjadikan seseorang penuh makna spiritual (willingness) namun kurang mampu membarengi potensi pikir (EQ dan IQ) dalam geraknya di dunia ini (Agustian, 2001: xl). Oleh karena itu konsep EQ dan SQ haruslah dipahami sebagai dua hal yang saling melengkapi. Seseorang perlu memiliki EQ tinggi sekaligus memiliki SQ tinggi untuk bisa mengarungi hidup agar mencapai kehidupan penuh makna bagi dirinya sendiri dan orang lain baik dalam konteks kehidupan di dunia ini maupun kehidupan di hari akhir.

Bahkan integrasi antara SQ dan EQ akan membangun sebuah sinergi dalam diri seseorang. Dalam terminologi Islam, habl min Allah (hubungan dengan Tuhan) dan habl min annas (hubungan dengan orang lain) adalah dua hal yang sama-sama harus dijaga secara seiring dan seimbang. Seseorang tidak mungkin baik dimata Tuhan kecuali ia juga baik terhadap sesamanya. Seseorang juga tidak mungkin baik terhadap sesamanya kecuali ia mendasarinya dengan sikap baik terhadap Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

H. Mubin, ESQ Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali. Antasari Press. Banjarmasin. 2005

Iman Supriyono, FSQ ( Memahami, Mengukur, dan Melejitkan Finansial Spritual Quotient untuk keunggulan Diri, Perusahaan, dan Masyarakat. Lutfansah Mediatama. Surabaya. 2006

Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Qur’an. PT. Mizan Pustaka. Bandung. 2002

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spritual (SQ) Rasulullah di Masa Kini. IRCiSoD. Yogyakarta. 2006

Dr. Patricia Patton, EQ pengembangan sukses lebih bermakna,. PT. Mitra Media Publisher. 2002

Http:// Cahledug. Wordpress. Com

Http :// Cehledug. Wordpress. Com

Http://Himpsi. Org/content/ View.com

Http:// Id. Shuvoong. Com / social. Com

Http://IjabiYogya. Tripod. Com, Dimitri, Htm



[1] Taufuk Pasiak, Revolusi IQ, EQ, dan SQ Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Hal. 19-27

[2] H. Mubin, ESQ Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali. Hal 1-9

[3] Dr. Patricia Patton, EQ pengembangan sukses lebih bermakna.

[4] Http:// Cahledug. Wordpress. Com

[5] Http:// Cahledug. Wordpress. Com

[6] Http://Himpsi. Org/content/ View.com

[7] Http:// Id. Shuvoong. Com / social. Com

[8] H. Mubin, ESQ Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali. Hal 45-60

[9] Http://IjabiYogya. Tripod. Com, Dimitri, Htm

[10] H. Mubin, ESQ Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali. Hal 60-74

No comments:

Post a Comment