Search This Blog

Tuesday, June 23, 2009

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR TEMATIK

BAB I

Pendahuluan

Ilmu tafsir sudah ada sejak nabi Muhammad SAW. Tipologi tafsir berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan konteks. Dasar tipologi atau pengelompokkan terhadap tafsir pun berbeda-beda. Di antara pengelompokan tersebut dan sudah dikenal sejak masa nabi Muhammad SAW adalah tafsir bi al-atsar, dan banyak yang menyebut tafsir bi al-ma’tsûr atau tafsir riwayah. Pengelompokan ini disebut corak tafsir. Corak tafsir lain adalah tafsir bi al-ra’y.

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan nash dalam menafsirkan, baik al-Qur’an dengan al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan sunnah. Dengan singkat, tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir antar nash. Sementara tafsir bi al-ra’y atau dikenal juga dengan tafsir dirayah adalah tafsir yang lebih mengandalkan pada ijtihad yang shahih.1 Namun ada juga tafsir isyari dan tafsir janggal (gharaib al-tafsir). Tafsir isyari adalah penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan zahir ayat karena ada petunjuk yang tersirat hanya diketahui oleh sebagai ulama atau orang-orang tertentu.2

Tafsir janggal adalah tafsir yang tidak sejalan dengan tafsir pada umumnya.3 Kedua tafsir ini tidak diterima oleh umumnya ulama, hanya orang-orang tertentu yang menerimanya.45 Tafsir bi al-ma’tsûr menurut Quraish Shihab merupakan gabungan dari tiga generasi mufassir, yakni: (1) penafsir rasul, (2) penafsir sahabat, dan (3) penafsir tabi‘in. Penafsir pada tingkat sahabat adalah: (1) Ibnu ‘Abbas, (2) Ubay bin Ka‘ab, dan (3) Ibnu Mas‘ud. Generasi tabi‘in dari pilar ini juga adalah Sa‘id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas; Muhammad bin Ka‘ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka‘ab; dan al-Hasan al-Basyri, Amir al-Sya‘bi di Irak, yang berguru kepada Ibnu Mas‘ud.6

Sementara corak tafsir muncul dengan tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik dan sejenisnya. Disebutkan bahwa corak tafsir ini didasarkan pada keilmuwan sang penafsir dan tuntutan kehidupan masyarakat.7 Quraish Shihab menyebutnya corak penafsiram, yakni: corak sastra basah, corak filsafat teologi, corak penafsiran ilmiah, corak tasauf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan. Corak sastra budaya kemasyarakatan, menurut Quraish, digagas oleh Muhamad Abduh dan menyebabkan corak lain menurun.8 Kalau dicermati lebih jauh, corak tafsir ini merupakan kelanjutan dari tafsir bi al-ra’y. Jadi, tafsir bi al-ra’y muncul dalam banyak corak sesuai dengan keahlian sang penafsir. Pengelompokkan lain terhadap tafsir adalah berdasarkan pada metode yang digunakan, dan ilmuwan membaginya secara umum menjadi tiga, yakni: (1) tafsir analisis (tahlili), (2) tafsir tematik (maud}û‘i), dan (3) tafsir holistik (kullî). Namun ada juga yang menambah tafsir muqaran (tafsir perbandingan).

Maksud tafsir tah}lîlî atau ijmâli atau juz’î adalah metode kajian al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mush}af ‘Uthmânî. Ternyata menurut sejumlah ilmuwan, metode yang sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian atomistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki beberapa kelemahan. Quraish Shihab berpendapat, satu akibat dari pemahaman al-Qur’an berdasar ayat demi ayat secara terpisah adalah al-Qur’an terlihat seolah sebagai petunjuk yang terpisah-pisah.9 Metode ini juga disebut tafsir analisis.10

Adapun tafsir tematik secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Qur’an; dan (2) tematik berdasar subyek. Tematik berdasarkan surah al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud. Sementara tematik subjek adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan.

Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir tematik dan apa langkah-langkah yang ditempuh dalam menerapkan metode tafsir tematik dan bagaimana keistimewaan tafsir tematik dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat kontemporer

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Tematik

Menurut catatan Quraish, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.11 Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.12

Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.13 Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhân,14 misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyût}î (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân.15

Sementa tematik berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauzîyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab H{anbalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al-Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid; Mufradât al-Qur`ân oleh al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-H{asan al-Wah}îdî al-Naisâbûrî (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalam Nâsikh wa al- Mansûkh, yakni; (1) Naskh al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muh}ammad al-Zuhrî (w. 124/742), (2) Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nah}h}âs (w. 338/949), (3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Sal>amâ (w. 410/1020), (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Atâ`iqi (w.s. 790/1308), (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî.16 Sebagai tambahan, tafsir Ah}kâm al-Qur`ân karya al-Jas}s}âs} (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an.

Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek/topik. C.Langkah-Langkah Menerapkan Metode Tafsir Tematik Menurut Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’I secara rinci menyeabutkan ada tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode tematik ini, yaitu ;

(1) Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik )

(2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah terseabut ;

(3) Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai pengetahuan tentang azbabun

nuzulnya;

(4) Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;

(5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;

(6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan;

(7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya

yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am ( umum) dan yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan17 Sementara menurut M.Quraish Shihab ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode tematik ini.Antara lain;

(1) Penetapan masalah yang dibahas.

Walaupun metode ini dapat menampaung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.

(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.

Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.

(3) Kesempurnaan metode tematik dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik 18

Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh kepentingan msyarakat. agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban terhadap problem masyarakat itu.

D.Keistimewaan Tafsir Tematik Menuntaskan Persoalan Masyarakat Kontemporer

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain,(a) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur’an, (b) kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.(c) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat19.

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa sejarah munculnya tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar Al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut, pada tahun 1960, sedangkan berdasarkan tema digagas pertama kali oleh Prof.Dr. Ahmad Sayyid al- Kumiy dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof.Dr.Abdul Hay Al-Farmawiy, pada tahun 1977.

Langkah yang dilakukan dalam metode tematik ini adalah menetapkan masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, melengkapi ayat-ayat dengan hadis-hadis yang relevan dengan topik pembahasan kemudian dibahas dan disimpulkan. Keistimewaan tafsir metode tematik adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi merupakan cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara itu kesimpulan yang diambil mudah dipahami tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu dan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara konkrit dapat menjawab problem-problem yang dihadapi masyarakat.

Endnotes:

1 T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: Bulan

Bintang, 1972), hlm. 204 dan 224; Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an [At-Tibyan], terj. Moch

Shudlori Umar dan Moh. Matsna (Bandung: P.T. Al-Ma‘arif, 1970), 205, 210, 234.

2 Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an hlm. 234.

3 Ibid., hlm. 247.

4 Ibid.

5 Ibid

6 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 71.

7 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur‘an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 127, 133,

149.

8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, hlm. 72-73.

9 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat. (Bandung: Mizan, 1996),

hlm. 112.

10 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, hlm. 111.

11 Ibid., hlm. 114.

12 Ibid.

13 Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. oleh

Suryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).

14 Badr al-Dîn Muh}ammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988),

1:61-72.

15 Jalâl al-Din> al-Suyût}î, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth, 1405/1985), 2:159-161.

16 David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the

History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 120.

17 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Hlm.115

18 Ibid, Hlm.116

19 Ibid, Hlm.117

No comments:

Post a Comment