Search This Blog

Friday, May 21, 2010

Larangan Riba Dalam Islam

LARANGAN RIBA DALAM ISLAM

A. Pengertian Riba
Menurut bahasa yang dimaksud dengan riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1. Bertambah ( الزِيَادَةَ), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga (النَّامُ), karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah :
• 
Artinya : “Bumi jadi subur dan gembur (Al-Haj : 5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba adalah akad transaksi tukar menukar barang yang tidak diketahui sama tidaknya menurut syar’i atau terlambat menerimanya. Misalnya, Umar meminjam uang Rp. 20.000,- kepada Ahmad dengan jangka waktu pengembalian sebulan, dalam waktu pengembalian itu Ahmad meminta kepada Umar agar uangnya dikembalikan menjadi Rp. 25.000.
Dalil Al-Qur’an yang melarang riba, yakni :
1.


Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Ali Imran : 130).


2.

Artinya :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275)
Dalam sebuah hadits disebutkan : “Rasulullah Saw. Melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, orang yang berwakil kepadanya, penulisnya dan dua saksinya”. (HR. Muslim).

B. Macam-macam Riba
1. Riba Fadhli
Yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kadar ukuran yang berbeda.
2. Riba Qardhin
Yaitu menghutangi dengan syarat orang yang meminjamkan menarik keuntungan dari orang yang dipinjami.
3. Riba Yad
Yaitu berpisah dari tempat transaksi jual beli sebelum serah terima barang yang jadi dibeli.
4. Riba Nasi’ah
Yaitu menukar barang yang disyaratkan terlambat salah satu dari dua barang, sehingga harganya menjadi bertambah.

C. Bunga Bank Dalam Tinjauan Hukum Islam
Setelah diuraikan pengertian riba dan macam-macamnya, timbul masalah, apakah bunga bank itu identik dengan riba atau tidak ? Untuk memecahkan masalah ini terlebih dahulu harus ditelusuri bunga bank itu sendiri.
Bank dalam mekanisme kerjanya, memberikan bunga (tambahan) kepada orang yang menyimpan uangnya, sebaliknya bank juga memungut bunga terhadap nasabahnya. Maksud dari pemberian dan pemungutan bunga tersebut adalah sebagai imbalan atas beroperasinya uang yang diambil atau disimpan itu. Karena adanya tambahan tersebut, maka sebagian ulama menganalogikan bunga bank dengan riba.
Muhammad Ali As-Shabuni misalnya, menganggap bunga bank sebagai riba nasi’ah. Dia menyatakan bahwa riba nasi’ah adalah semacam riba yang diberlakukan zaman sekarang di bank-bank umum (bank konvensional), yakni dengan adanya tambahan-tambahan tertentu yang harus dibayar, seperti 5-10% dalam peminjaman uang.
Perbedaan pandangan ulama di atas maka dengan pertimbangan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang haram, para ahli perbankan Islam telah memikirkan untuk mendirikan bank-bank yang berorientasi pada pelaksanaan hukum syariat. Hal ini dimaksudkan untuk pengembangan dan pengelolaan keuangan umat Islam secara lebih sehat.
Pemikiran dan pertimbangan itu menghasilkan sebuah aksi nyata, yaitu dengan didirikannya bank-bank syariah. Tujuan utama pendirian bank-bank syariah ialah agar umat Islam terhindar dari melakukan perbuatan yang haram dan sebagai jalan keluar yang dapat ditempuh agar terhindar dari unsur-unsur riba.

D. Wacana Riba Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sejak masa awal diturunkan telah menekankan perhatian yang mendalam terhadap sosial-ekonomi dalam suatu masyarakat, berusaha melindungi lapisan masyarakat lemah dengan menghilangkan upaya eksploitasi dari pihak yang kuat. Dalam konteks ini, Al-Qur’an emengutuk praktek riba, yang esensinya menambah beban tanggungan debitur yang mengalami problem dalam melunasi hutangnya yang selanjutnya turut meningkatkan kesengsaraan hidup debitur (pihak yang punya tanggungan hutang). Akibatnya hutang tersebut menjadi berlipat ganda terus meningkat setelah melampaui batas waktu yang ditentukan. Melihat realitas ini Al-Qur’an menganjurkan untuk menolong orang-orang tersebut yaitu dengan cara meminta orang kaya untuk menafkahkan harta bendanya kepada fakir miskin. Jika debitur tidak mampu melunasi hutangnya sampai batas yang telah ditentukan, maka pihak kreditur dapat memberikan kelapangan tempo pembayaran dengan tanpa memungut tambahan dari nilai pokok hutangnya.
Kerangka moral menjadi fokus perhatian Al-Qur’an, khususnya menyangkut masalah pinjaman dan meningkatkan beban tanggungan debitur dalam tekanan kreditur. Dalam konteks ini keterkaitan riba diedintifikasikan sebagai sesuatu yang berlipat ganda, yang oleh Al-Qur’an ditekankan perhatiannya dari perspektif moral. Sunnah memperhatikan persoalan riba dari sudut pandang moral. Walaupun dalam hukum Islam, untuk menentukan apakah sesuatu termasuk riba atau bukan, para ulama tampaknya memfokuskan perhatiannya terhadap bentuk transaksi pinjaman yang menyebabkan meningkatnya kelebihan dari nilai pokok. Jadi, riba dalam hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT.

E. Riba Menurut Islam
Islam secara keras menyatakan perang terhadap riba dan terhadap semua orang tanpa diskriminasi antara muslim dan non-muslim ataupun antar sesama muslim.
Allah mengharamkan riba karena pemerasan terhadap kepentingan manusia dan mengharamkan segala yang merugikan orang lain. Setiap pinjaman dengan menarik bunga adalah riba, karena tidak masuk akal orang kaya memeras orang miskin dengan jalan memberinya pinjaman uang. Tetapi kemudian memungut bunganya dari yang bersangkutan serta memeras orang miskin dan menunggangi kesusahannnya untuk orang kaya yang menganggur. Oleh karena itu, Islam melarang orang kaya memanfaatkan kesulitan saudaranya yang miskin untuk memperoleh harta yang berlimpah dan menjadi besar kekayaannya tanpa susah payah bekerja. Maka Islam menilai riba perbuatan munkar yang dianggap dosa besar. Mereka yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan hanya berdiri seperti orang yang kerasukan setan. (Al-Baqarah : 275).
Islam menganjurkan kepada umatnya agar saling tolong menolong untuk membantu fakir miskin dan mengingatkan agar hal-hal yang merugikan orang lain dihilangkan.
F. Dampak Riba Pada Ekonomi
Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan, itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka adalah sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat. Maka daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil, pada waktu yang bersamaan pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga kecil, maka daya beli kebanyakan anggota masyarakat adalah kecil pula. Para ahli ekonomi berpedapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
Riba dapat menimbulkan over produksi, sebuah riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, maka persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, maka perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, maka riba dapat pula mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.

DAFTAR PUSTAKA

Saed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Husin al-Munawar, Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Pena Madani, 2005
Abdul Hadi, Abu Sura’i, Bunga Bank Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993
Munir, A dan Sudarsono, Dasar-dasar Agama Islam,Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001
Syamsi, Moh. dkk, RPAI, Surabaya : Amelia, 2004
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997

No comments:

Post a Comment